Fahmi Habsy: PDIP Usung Ahok Bukan Haram Tapi Makruh
Dinamika yang berkembang diantar elit dan kader PDIP dalam pilgub DKI 2017 adalah biasa.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Dinamika yang berkembang diantar elit dan kader PDIP dalam pilgub DKI 2017 adalah biasa.
Sebagian elit mendukung Ahok sebagai calon gubernur dengan didampingi kader PDIP sebagai wakil gubernur.
Sebagian lainnya mendukung calon gubernur yang berasal dari internal PDIP seperti Risma, Djarot ataupun Boy Sadikin.
Menanggapi hal tersebut lembaga penyokong kebijakan Jokowi-JK Pusaka (pusat kajian) Trisakti menilai, dinamika yang terjadi di PDIP terhadap usung-mengusung calon itu hal yang biasa.
PDIP memiliki banyak stok kader-kadernya didaerah yang sudah teruji dimata masyarakat.
"Soal koalisi cawagub partai lain atau tidak dalam pilgub itu bukan prinsipil," ujar Fahmi Habsy Direktur Eksekutif Pusaka Trisakti.
" Kalo pun PDIP mengusung calon gub-wagub sendiri yang kredibel dimata masyarakat dan disegani oleh kader PDIP itu bisa memacu militansi akar rumput,"tambahnya.
Mengenai kemungkinan peluang Ahok dalam pilgub 2017 diusung oleh PDIP nanti, ia mengatakan peluang itu sangat kecil walaupun segala kemungkinan bisa berubah dikarenakan beberapa hal.
Pertama, meledaknya soal kasus korupsi Reklamasi yang menimbulkan skandal aliran uang "Temen Gate" dan lingkaran dekatnya yang berpotensi jadi 'bola liar' berimplikasi hukum.
Dan menimbulkan delegitimasi terhadap integritas Ahok dimata publik hingga 2017.
"Kedua, Bu Mega sangat pertimbangan dan selalu menegaskan kepada kader partai soal track record loyalitas terhadap program dan ideologi partai. Ahok pola pendekatan kebijakannya selama gubernur sering bertubrukan dengan basis PDIP,"papar Fahmi.
Ahok menurutnya, cenderung pragmatis karena sudah cukup malang-melintang bersafari berbagai baju partai politik berbeda sejak menjadi bupati, DPR hingga Wagub.
Sulit mengharapkan militansi kader dan simpatisan PDIP di akar rumput.
Ia mengungkapkan poin ketiga, falsafah hidup Ahok yang belum dimilikinya yaitu "jangan menilai diri melebihi harga kurs".
Artinya dalam menempatkan dirinya seakan-akan bahwa dia mengagung-agungkan kualitas kepemimpinannya dan komitmennya yang bersih dan lurus-lurus aja.
Sehingga layak diusung dengan atau tanpa dukungan partai politik, serta tidak berkepentingan apakah ideologi partai tersebut layak diperjuangkan atau tidak.
"Apakah independen nya Ahok melalui pengumpulan dukungan KTP sudah didasari dari kesadaran politik rakyat atau hanya didesain melalui dukungan semu? Termasuk 'jargon bersihnya" yang tidak pernah memanfaatkan fasilitas jabatan," Fahmi mempertanyakan.
"Masih perlu diuji dalam skandal aliran uang "Temengate" yang lagi ramai sekarang apakah Ahok mengetahui atau merestuinya , "kata Fahmi lagi.
"Jika PDIP mengusung Ahok, analoginya tidak Haram tapi makruh. Yang jika tidak dilakukan akan sangat bermanfaat secara politis dalam menegaskan sikap PDIP soal komitmen ideologi, "ujarnya.
"Rakyat Jakarta perlu pemimpin baru yang lebih humble (rendah hati) tapi solutif serta pribadi yang lebih artikulatif dan "meng-wongke". Dalam mewujudkan kebijakan pembangunan.
Menurutnya, Ahok berbeda dengan Jokowi dalam background politik serta pola komunikasi politiknya.
"Kita percayakan saja pada intuisi politik dan 'wisdom' nya Bu Mega dalam memutuskan kader PDIP yang mana yang akan 'di-rising star' kannya dalam pilgub nanti,"pungkasnya.