Ahok: Pengurus RT dan RW Tak Boleh Berpolitik
Pengurus RT dan RW menggalang penolakan 3 juta KTP Ahok harus mundur dari jabatannya.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Johnson Simanjuntak

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengurus RT dan RW yang menolak Qlue, menggalang 3 juta Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk menolak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi pemimpin Jakarta lagi.
Pengurus RT dan RW yang menggalang penolakan 3 juta KTP dan menolak Qlue itu meminta Ahok harus mundur dari jabatannya.
Menanggapi penggalangan tersebut, Ahok mengatkan bahwa pengurus RT-RW ini diberikan upah melalui anggaran DKI, sehingga tak boleh berpolitik.
Ahok sebenarnya tidak melarang penggalangan. Namun yang dipermasalahkannya adalah para pengurus RT dan RW itu yang berpolitik.
"Sah secara demokrasi. Tapi harusnya mereka berhenti jadi RT dan RW karena tidak boleh berpolitik," ujar Ahok di Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu (3/8/2016).
Pengumpulan KTP dipercaya Ahok tidak akan sampai berjumlah tiga juta.
Karena bila itu terjadi, maka mengurangi berkisar 50 persen daftar pemilih tetap, yang dalam catatan Komisi Pemilihan Umum Jakarta berjumlah 6,9 juta.
"Kalau memang ada tiga juta orang tidak suka sama saya, berarti Pilkada head to head," kata mantan Bupati Belitung Timur tersebut.
Pengurus RT dan RW di Jakarta yang menolak Qlue membentuk Forum RT RW DKI Jakarta untuk menggalang 3 juta KTP menolak kepemimpinan Ahok.
Seorang anggota forum tersebut Jerry Ardiansyah, Ketua RT 13 RW 08 Kelurahan Manggarai, Jakarta Selatan, berpendapat, gerakan ini adalah bentuk penolakan terhadap Ahok yang menurut mereka memimpin tidak berdasarkan demokrasi.
Hal yang sama juga dirasakan Yakobus Eko, Ketua RT 12 RW 01 Kelurahan Kampung Rawa, Jakarta Pusat.
Dia menegaskan kebijakan yang paling ditentang saat ini adalah kewajiban melapor lewat Qlue.
Yakobus dan beberapa ketua RT setempat pun tidak mengindahkan permintaan lurahnya untuk menggunakan Qlue.