Bila Begini Jadinya Mimpi Presiden Jokowi Tak Akan Terwujud
Apakah itu kelalaian, kesalahan, kecerobohan atau juga kesengajaan oleh pihak lain, namun kasus tersebut menjelaskan bahwa Indonesia harus berbenah.
Editor: Robertus Rimawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus kewarganegaraan ganda Arcandra Tahar, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral seolah menegaskan bahwa pemerintahan Joko Widodo bukanlah tanpa kesalahan.
Apakah itu kelalaian, kesalahan, kecerobohan atau juga kesengajaan oleh pihak lain, namun kasus tersebut menjelaskan bahwa bangsa Indonesia harus berbenah dan menata diri kembali.
Bukan tidak mungkin dengan kasus ini sebenarnya, negara Indonesia bukanlah milik bangsa Indonesia sepenuhnya.
Mengingat posisi Indonesia yang strategis terletak di antara dua Samudera dan kekayaan alamnya yang luar biasa, maka secara geopolitik dan geostrategi upaya pengkerdilan dan pelemahan akan terus dilakukan agar Republik ini tidak mandiri, baik oleh pihak luar maupun dalam.
Secara tidak langsung kedaulatan negara dan bangsa Indonesia menghadapi ancaman serius oleh warganya sendiri.
Demikian ditegaskan oleh Ketua Umum Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), Muliawan Margadana, dalam pernyataannya kepada redaksi Tribunnews.com terkait dengan ulang tahun kemerdekaan RI yang ke 71.
“Saya cenderung dengan kasus itu mengatakan, selamat datang Negara Outsourcing."
"Jika kasus Menteri ESDM ini tidak menjadi jelas bagi publik, jangan heran jika kelak, ada berbagai upaya pelemahan Idiologi dan Konstitusi, hingga yang menjadi Presiden RI adalah mereka yang memiliki kewarganegaraan ganda."
"Saya kira kita harus sepenuhnya prihatin dan sekaligus mencermati fenomena ini,” ujar Muliawan.
Muliawan kemudian merujuk pada Desember 2015 saat Presiden Jokowi meluncurkan kapsul waktu yang membawa 7 (tujuh) mimpi untuk menandai 70 tahun kedua kemerdekaan RI.
Impian Indonesia 2015-2085 itu adalah:
1. Sumber daya manusia Indonesia yang kecerdasannya mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia
2. Masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pluralisme, berbudaya, religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika.
3. Indonesia menjadi pusat pendidikan, teknologi dan peradaban dunia.
4. Masyarakat dan aparatur pemerintah yang bebas dari perilaku korupsi.
5. Terbangunnya infrastruktur yang merata di seluruh Indonesia.
6. Indonesia menjadi negara yang mandiri dan negara yang paling berpengaruh di Asia Pasifik.
7. Indonesia menjadi barometer pertumbuhan ekonomi dunia.
Menurut Muliawan, jika dikaitkan dengan kasus Arcandra Tahar, maka mimpi itu merupakan tanda tanya besar apakah mimpi Jokowi untuk 70 tahun kedua kemerdekaan RI akan terwujud oleh bangsa sendiri ?
Upaya menghadapi segala tantangan dan ancaman itu sebenarnya sederhana, yaitu memperkuat Persatuan dan Kesatuan serta menumbuhkembangkan karakter bangsa sebagai Identitas nasional yang kuat.
Fenomena anak reformasi
Dalam proses sejarah perkembangan Indonesia modern, telah dipilih Politik Kebangsaan sebagai pilihan atas multikulturalisme yang ada di bumi Nusantara.
Semangat dan jiwa yang satu ini jelas terlihat dalam sidang BPUPKI dan PPKI yang kemudian di munculkan dalam Santiaji Republik Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
Situasi dunia yang makin kompetitif dan perang generasi ke empat yang pada saat ini dihadapi oleh Indonesia, khususnya upaya pelemahan aspek Idiologi, dan budaya bangsa, maka ISKA meminta pemerintah untuk memberi perhatian khusus kepada ANAK REFORMASI, yakni mereka yang dilahirkan saat Orde Reformasi muncul.
“Bagi ISKA, tidak ada pilihan bahwa bangsa Indonesia harus memberi perhatian khusus kepada generasi ini."
"Karena generasi baru ini yang saat ini duduk di bangku kuliah adalah Anak Reformasi yang lahir dan tumbuh di tengah gundah gulananya Indonesia sebagai negara dan bangsa,” tegas Muliawan.
Anak Reformasi relatif bertumbuh tanpa keteladanan dan diwarnai dengan kasus kekerasan, korupsi, pemimpin bangsa yang hanya mementingkan diri sendiri, politik uang dll.
Mereka adalah generasi tanpa persahabatan karena ditemani oleh gadget yang merupakan hasil revolusi teknologi informasi dan komunikasi.
Mereka lebih merasa menjadi seseorang bersama teman-teman mayanya dan acuh tak acuh pada lingkungan sekitar dan sosial.
Perubahan perilaku ini tentu akan menetap menjadi karakter generasi muda ke depan.
ISKA melihat dalam waktu 15 tahun lagi, ketika generasi ini memegang posisi pengambil keputusan di berbagai bidang , maka Indonesia akan memiliki pemimpin bangsa yang tidak membumi, tidak pernah ada ikatan emosional kebangsaan karena cara melihat generasi tersebut adalah maya. Jiwa patriotisme , rasa cinta tanah air, budaya toleransi , dan nasionalisme sangat kurang dibandingkan dengan generasi yang tumbuh sebelum Orde Reformasi.
Kunci kemenangan persaingan global bukan di Sumber Daya Alam namun justru di Sumber daya manusia dengan karakter kebangsaan nya yang kuat.
Muliawan menambahkan, yang perlu dilihat adalah pola pikir Anak Reformasi ini. Anak Reformasi, ditambahkan Muliawan, melihat negara sebagai daratan maya yang tak berbatas (borderless land), yang dapat dikontrol dengan gadget (perangkat komunikasi) dengan warganegara beruwujud tapi tak terbentuk.
Mereka bisa saling berkomunikasi tetapi tidak pernah berjumpa, bisa mendapatkan bisnis dengan mudah tetapi semuanya dikuasai oleh untouchable institution (institusi tak tersentuh).
“Jika ditarik benang merahnya, permakluman akan kasus double kewarganegaraan sebagai sesuatu yang tidak serius akan memberi dampak pada penggunaan kacamata yang sama dalam melihat generasi Reformasi."
"Jika yang terjadi demikian, maka mimpi Joko Widodo akan terwujud namun negara Indonesia bukanlah milik bangsa Indonesia,” ujar Muliawan. (*)