Pengamat Sebut Program yang Ditawarkan Agus-Sylvi dan Anies-Sandi Sudah Dijalankan Ahok-Djarot
“Kalau mereka memiliki visi yang baik, harusnya bisa memberikan program alternatif di berbagai bidang."
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menyayangkan program-program yang ditawarkan pasangan calon penantang petahana.
Program yang dijabarkan Calon Gubernur DKI Jakarta penantang petahana masih seragam dengan apa yang selama ini dilakukan Pemprov DKI Jakarta.
“Ini artinya mereka tidak memiliki visi yang lebih baik dari petahana,” kata Syamsuddin kepada wartawan, Selasa (11/1/2016).
Beberapa program yang dijabarkan pasangan Agus–Sylvi dan Anies–Sandi saat turun ke warga memang masih banyak yang menyerupai program yang sebenarnya sudah ada dan dijalankan pemerintahan Ahok–Djarot.
“Kalau mereka memiliki visi yang baik, harusnya bisa memberikan program alternatif di berbagai bidang. Memang tidak mudah jika pasangan calon tak punya kebijakan yang baru,” kata Syamsuddin.
Misalnya saat Anies menjanjikan mobil keliling urusan administrasi bagi warga penyandang disabilitas di Jakarta Utara.
Saat ini, Pemprov DKI Jakarta sebenarnya sudah menyediakan fasilitas serupa yakni AJIB (Antar Jemput Izin Bermotor) yang bekerjasama dengan PTSP di tiap kelurahan/kecamatan.
Bahkan untuk transportasi publik, saat ini Pemprov DKI juga sudah menyediakan Transjakarta Care yang siap menjemput penumpang ke halte Transjakarta ramah disabilitas terdekat.
Anies juga hanya berjanji menguatkan program pembentukan Penanganan Sarana dan Prasarana Umum (PPSU) yang dibentuk di zaman Ahok – Djarot.
Dia berjanji tak akan membubarkan PPSU yang saat ini sebenarnya sudah mendapatkan tunjangan sebesar UMP, biaya asuransi kesehatan, dan tenaga kerja.
Pidato politik Agus yang menghasilkan 10 program unggulan juga dinilai masih belum mengesankan.
Beberapa program seperti optimalisasi KJP sedang dilakukan Pemprov DKI dengan sistem yang mutakhir yakni non tunai.
Program Smart, Creative, and Green City juga sudah diimplementasikan dan terus dikembangkan di zaman Ahok–Djarot melalui Jakarta Smart City dan sistem pelaporan Qlue.
Sementara untuk istilah Neighborhood Watch yang memberdayakan kelurahan, RT, dan RW, juga sudah diimplementasikan dalam program tersebut.
Bahkan untuk tiap penyelesaian laporan para ketua RT/RW mendapatkan tunjangan.
Agus juga menekankan bahwa dirinya akan menghidupkan kembali program BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang di zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menuai banyak kritik.
Bahkan dalam eksekusinya dulu, antrian pembagian BLT seringkali berjatuhan korban jiwa.
Pasangan Agus–Sylvi juga belum mengemukakan besaran BLT yang nantinya mereka alokasikan jika memang terpilih.
Syamsuddin juga menyayangkan para penantang yang mengkritik program-program petahana, tapi tanpa menggunakan data yang akurat dan menyesatkan.
“Kritik mengenai program tentu sehat, tapi harusnya menggunakan data yang baku sehingga akurasi bisa dipertanggungjawabkan,” kata Syamsuddin.
Hal ini merujuk pada beberapa kali tudingan yang dilancarkan oleh kubu Anies–Sandi yang seringkali mengkritik program dari petahana.
Seperti yang paling terkini adalah saat Anies menyayangkan tidak berjalannya program Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang menurut Anies jumlahnya lebih besar dari Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Padahal, nominal KIP hanya 750 ribu setahun, sedangkan KJP memberikan siswa 150 ribu setiap bulannya dengan sistem non tunai.
Kesalahan data serupa juga pernah dilontarkan saat Sandiaga Uno mengkritisi harga daging di Jakarta yang lebih mahal dibanding di Singapura.
Direktur Utama PD Dharma Jaya Marina Ratna Dwi Kusuma membeberkan bahwa Sandi menggunakan perbandingan harga daging dengan grade yang sama.
“Tidak apple to apple jika dibandingkan dengan daging yang dijual PD Dharma Jaya. Daging murah di Singapura itu grade India. Bulog juga memiliki daging kualitas itu dan juga murah” kata Marina saat itu.
“Saya pikir biar publik menilai kritik dengan data tidak akurat itu tentu tak mampu merubah persepsi publik. Kalau memanipulasi data, tentu itu namanya membodohi publik,” kata Syamsuddin.