AAI Peduli Kepada Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Terdakwa tunggal kasus kopi sianida, Jessica Kumala Wongso, resmi divonis 20 tahun penjara oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa tunggal kasus kopi sianida, Jessica Kumala Wongso, resmi divonis 20 tahun penjara oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Meski demikian, putusan majelis hakim tersebut justru memunculkan polemik dan mendapatkan tanggapan beragam dari masyarakat termasuk juga dari Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) AAI, Astuti Sitanggang menyayangkan dimana proses hukum kasus 'Kopi Sianida' yang berjalan selama ini lebih banyak ditonjolkan terhadap permainan opini publik dan bukan didasarkan pada pembuktian fakta dalam proses hukum itu sendiri yang seyogyanya dimaksimalkan oleh Penegak Hukum dalam memandang suatu kasus secara holistik.
"Permainan opini publik yang tidak didasarkan pada pembuktian fakta terus dimunculkan diluar persidangan. Selebihnya penegak hukum lebih banyak menggunakan keterangan-keterangan ahli yang dihadirkan oleh masing-masing pihak dalam menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak," ungkap Astuti dalam Konfrensi Persnya di Kantor DPP AAI di Jakarta, Kamis (3/11/16).
Lebih lanjut Astuti menjelaskan, opini publik juga ikut bermain dikarenakan tingginya ekspose media mulai dari peliputan langsung proses persidangan yang tidak henti-hentinya serta diskusi-diskusi publik yang dikembangkan di stasiun media di luar proses persidangan sehingga dapat mengganggu independesi proses persidangan itu sendiri.
"Bahkan pejabat publik, dan politisi pun ikut beropini dalam suatu proses persidangan, sehingga dapat mengakibatkan adanya proses intervensi kekuasaan eksekutif dan legislatif ke dalam kekuasaan lembaga peradilan," selorohnya.
Karena itu Astuti menjelaskan, AAI yang secara khusus sangat peduli kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya profesi hukum serta proses penegakkan hukum melihat masih perlunya peningkatan kualitas para profesi hukum di Indonesia serta perlunya dilakukan perbaikan-perbaikan aturan ke depan dalam suatu proses penegakkan hukum.
Sebab, seperti diketahui Indonesia adalah negara hukum yang menganut sistem hukum Negara Eropa Kontinental dimana Profesi Hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi sentral dalam proses penegakkan hukum.
Hal itu jelas berbeda dengan negara penganut common law system dimana peran juri yang terdiri dari orang-orang yang bukan berlatar belakang Profesi Hukum dapat menjadi penentu dari hasil akhir dari suatu proses hukum atau persidangan.
"Karena itu, perspektif opini publik yang dikembangkan diluar proses persidangan jelas dapat mengganggu keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusannya," imbuhnya.
AAI juga menyayangkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebagai lembaga pengawas dalam proses penyiaran di Indonesia seolah-olah diam saja dalam hal ini. Berbeda dengan kasus Antasari Azhar misalnya, dimana KPI bersikap terhadap tayangan siaran langsung pembacaan dakwaan persidangan Antasari Azhar.
"Mengaca pada kasus Jessica, profesi hukum sangatlah menentukan tegaknya suatu proses peradilan, maka dariitu AAI memandang peningkatan kompetensi pendidikan profesi hukum menjadi relevan," tegas Astuti.
Terhadap Profesi Advokat, AAI bersama-sama dengan DIKTI telah membahas standarisasi kurikulum Pendidikan Profesi Advokat (PKPA).
Kemudian AAI juga mendorong pemerintah bersama dengan DPR segera membahas pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru, yang dapat mengatur lebih lanjut tentang hukum acara persidangan pidana termasuk dalam hal keterbukaan persidangan dan peliputan media serta keterangan ahli sebagai alat bukti dimana kehadirannya perlu dipanggil melalui pengadilan dan bukan dari pihak (jaksa, advokat).
"Sehingga seorang ahli dalam memberikan keterangannya betul-betul independen dalam menunjang keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusannya," tutur Astuti.