PSHK Menilai Gelar Perkara Dugaan Penistaan Agama Tidak Memiliki Dasar Hukum
Apabila dugaan penodaan agama oleh Ahok belum memasuki fase penyidikan, maka gelar perkara untuk kasus tersebut tidak memiliki dasar hukum.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai rencana Kepolisian untuk menyelenggarakan gelar perkara secara terbuka terkait dugaan tindak pidana penodaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak memiliki dasar hukum.
PSHK berpendapat gelar perkara secara terbuka juga membuka ruang intervensi terhadap jalannya proses penegakan hukum.
Peneliti PSHK, Miko Ginting mengungkapkan gelar perkara diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
"Pasal 15 Peraturan Kapolri itu menyatakan gelar perkara dilakukan pada fase penyidikan dan bukan penyelidikan. Meskipun Pasal 71 Peraturan Kapolri tersebut mengatur tentang gelar perkara khusus untuk perkara-perkara tertentu (termasuk perkara yang menjadi perhatian publik secara luas), tetapi tahapannya tetap pada fase penyidikan dan bukan penyelidikan," kata Miko Ginting, Jakarta, Rabu (9/11/2016).
Sebagaimana Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, lanjut Miko, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana dan guna menemukan tersangkanya.
"Oleh karena itu, pada fase penyidikan, setidak-tidaknya penyidik sudah menentukan bahwa telah ada dugaan tindak pidana atau belum," kata dia.
Apabila dugaan penodaan agama oleh Ahok belum memasuki fase penyidikan, maka gelar perkara untuk kasus tersebut tidak memiliki dasar hukum.
Oleh karena itu, pihak Kepolisian perlu terlebih dahulu menentukan kasus ini sudah memasuki fase penyidikan (dengan kata lain sudah ada dugaan tindak pidana) atau belum.
Miko mengatakan gelar perkara yang dilakukan secara terbuka tidak memiliki dasar hukum dan sepatutnya dipertimbangkan kembali.
Meskipun hal ini tidak berarti boleh mengesampingkan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Prinsip itu sudah terpenuhi apabila pihak Kepolisian menjelaskan setiap proses yang sudah, sedang, dan akan dilakukan dalam pemeriksaan dugaan tindak pidana secara transparan dan akuntabel kepada masyarakat.
Misalnya, dengan melakukan konferensi pers setiap selesai satu tahapan dalam penyelidikan/penyidikan.
Menurut Miko, apabila gelar perkara dilakukan secara terbuka terdapat beberapa potensi yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, proses penyidikan yang seolah-olah menjadi forum pengadilan. Potensi intervensi oleh opini terhadap jalannya proses penyidikan akan terbuka dengan lebar.
Selain itu, apabila gelar perkara untuk kasus ini tetap dilakukan secara terbuka, maka harus ada perlakuan yang sama untuk setiap dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh pihak lain.