Ketika Ibunda Jessica Menangis Sendirian di Dalam Toilet
Saya berkesempatan untuk turut menyaksikan bagaimana mereka menyusun argumen demi argumen untuk membangun konstruksi hukum yang bisa “menjawab” materi
Penulis: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang kasus Jessica Kumala Wongso menyita perhatian publik. Tidak hanya di dalam negeri, sidang kasus ini diikuti media luar negeri. Sejumlah televisi swasta nasional menyiarkan langsung sidang, termasuk Kompas TV.
Wartawan Kompas TV Fristian Griec yang telah meliput 32 kali jalannya persidangan memiliki sejumlah kisah menarik di balik persidangan yang tak banyak diketahui publik.
1. Baca: Sidang Jessica Berlangsung, Pendukung Sibuk Berbagi Info Melalui Grup Whatsapp
2. Baca: Kalau Aku Bebas, Aku Mau Bikin Akun Instagram Ya”
Berikut kisah lanjutannya :
Sekitar pukul 23:20 WIB, akhirnya keduanya muncul dengan menaiki eskalator. Beberapa dari kami pun berdiri termasuk saya dan langsung ke luar restoran untuk menemui keduanya. Imelda dan Winardi Wongso, bisa jadi yang paling terpukul selain Jessica sendiri atas vonis 20 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim.
Hari itu, 27 Oktober 2016 bisa jadi adalah hari yang paling mengecewakan untuk mereka bertiga terlepas dari begitu banyak penilaian dan analisis yang dilakukan banyak ahli gesture pun kalangan awam atas “senyum” Jess sesaat setelah vonis.
Ketika itu, saya melihat dari jarak dekat, bagaimana Otto Hasibuan memegang pundak Jess dan mengarahkannya untuk tak langsung meninggalkan ruang sidang melainkan menyapa para simpatisan terlebih dahulu sembari mengucapkan terima kasih dan Jess pun tersenyum ke arah mereka seperti yang berhasil diabadikan oleh banyak mata dan sorotan kamera pada hari itu.
Salah satu penasehat hukum Jess, Elizabeth Batubara langsung memeluk Imelda yang kemudian langsung memeluk saya. Kedua mata Imelda bengkak, air matanya tak henti-hentinya mengalir. Sementara Winardi Wongso, ayah Jess, tampak tak bisa lagi berkata-kata. Ia hanya diam. Kami lantas membawa keduanya masuk restoran.
Tangis Imelda makin menjadi-jadi saat bertemu Otto Hasibuan. Untuk sejenak, suasana tengah malam itu hening ... hanya tangis Imelda yang terdengar. “Tenang aja, kita akan terus berjuang. Masih ada upaya lagi. Kita banding. Kita terus berjuang ya ...”, ujar Otto pelan sambil memeluk Imelda yang duduk tepat disebelahnya. Kami semua tak banyak bicara ketika itu.
Suasana berbeda dibanding hari-hari sebelumnya yang selalu diwarnai diskusi dan perbincangan soal jalannya sidang. Ya, restoran chinese food yang terletak di kawasan Kelapa Gading itu bisa jadi adalah salah satu saksi bisu perjuangan tim penasehat hukum, ayah, dan Ibu Jessica untuk membebaskannya dari jeratan hukum.
Biasanya, usai sidang – jika tidak sampai dini hari - mereka berkumpul di restoran itu untuk membahas banyak hal soal pembelaan Jess di persidangan.
Tangis Imelda dan kebisuan Winardi Wongso di restoran itu mengingatkan saya pada suasana berbeda malam sebelumnya, malam sebelum vonis atas Jess dijatuhkan.
Hampir di jam yang sama, jelang tengah malam, 2 Penasehat Hukum Jess, Elizabeth Batubara, Hidayat Bostam dan saya menemani Imelda dan Winardi Wongso menuju rumah mereka di kawasan Sunter, Jakarta Utara usai melayani permintaan wawancara live maupun taping dari beberapa stasiun tv, termasuk Kompas TV di kantor Hukum Otto Hasibuan di kawasan Duta Merlin, Jakarta Pusat.
Memenuhi permintaan wawancara adalah salah satu bentuk “perjuangan” Imelda untuk sang putri. Saya ingat, berkali-kali Imelda mengatakan Ia tak terbiasa berada di depan kamera. Bahkan saya sendiri, 5 kali gagal mewawancarainya karena berbagai alasan.
“Tapi, untuk Jess ... Tante harus kuat”, ujarnya. Sesampainya di rumah pribadi Jess, saya dan Mbak Elly - panggilan Penasehat Hukum Elizabeth Batubara – duduk di meja makan tepat di ruang tengah lantai 1. Hidayat Bostam lebih memilih menunggu di halaman rumah.
Sementara Imelda dan Winardi tampak begitu bersemangat. Imelda bahkan tak hanya menyiapkan pakaian untuknya dan sang suami tetapi juga untuk Jess.
Harapan yang begitu besar atas kebebasan Jess membuat keduanya begitu kuat turun-naik tangga dan dalam waktu cepat mengemas barang-barang yang diperlukan dalam koper yang berukuran sedang. Malam itu, keduanya memutuskan untuk menginap di salah satu hotel di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Tangis Imelda dan kebisuan Winardi Wongso di restoran itu juga mengingatkan saya pada malam-malam hingga dini hari saat tim Penasehat Hukum Jess menyusun berbagai berkas termasuk pledoii atau nota pembelaan dan duplik.
Saya berkesempatan untuk turut menyaksikan bagaimana mereka menyusun argumen demi argumen untuk membangun konstruksi hukum yang bisa “menjawab” materi tuntutan dan replik yang disusun Jaksa Penuntut Umum.
Saya kerap mengabadikan “momen dini hari” saat Otto Hasibuan dan tim penasehat hukum yang lain berjuang melawan kantuk dan rasa letih demi merampungkan materi pledoi maupun duplik dengan kamera handphone dan ditayangkan secara eksklusif di Kompas TV sebelum persidangan dimulai.
Termasuk Imelda dan Winardi Wongso yang juga tetap terjaga, duduk diantara para penasehat hukum Jess yang berkutat di depan laptop masing-masing.
Keduanya, tentu awam soal hukum apalagi soal toksikologi dan rumus kimia zat sianiada. Karenanya, Imelda dan Winardi Wongso seolah mengambil “tugas” memastikan kami yang begadang tak kekurangan makanan dan minuman.
Bahkan tengah malam sekalipun, keduanya masih membelikan makanan dan minuman untuk kami. Tante Imelda dan Om Win – panggilan saya untuk Imelda dan Winardi Wongso rupanya menghafalkan makanan kesukaan masing-masing orang.
Saya ingat, tepat tengah malam menuju 12 Oktober 2016, Tante Imelda tak terlihat lagi di dalam ruang meeting yang disewa di salah satu hotel di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Lama menunggu Ia tak kunjung kembali, saya pun berinisiatif mencarinya.
Entah apa yang mengarahkan saya menuju toilet ketika itu dan ya, di dalam toilet terdengar suara orang menangis. Saya memberanikan diri masuk.
Ternyata Tante Imelda tengah menangis. Saya pun segera memintanya untuk bergabung kembali bersama kami. Tak hanya itu, ada banyak momen lain yang saya saksikan sendiri saat Imelda Wongso tiba-tiba menitikkan air mata saat ingat putri tercintanya Jess.
Tangis Imelda dan kebisuan Winardi Wongso di restoran itu juga mengingatkan saya pada momen 2 hari jelang vonis, 25 Oktober 2016 saat Otto Hasibuan dan anggota tim penasehat hukum lainnya mengunjungi Jess ke rutan. Saya pun turut bersama mereka.
Hari itu, Imelda Wongso seperti kebiasaanya selama sekitar 4 bulan lebih keluar-masuk rutan pondok bambu mengunjungi Jess. Ia kerap membawakan masakan kesukaan Jess termasuk salmon kukus yang dilumuri telur.
Saat itu Jess belum selesai menikmati salmon kesukaannya yang dititipkan sang Ibu kepada penasehat hukum Elisabeth Batubara karena Imelda Wongso masih menunggu antrean untuk masuk ke rutan.
Otto Hasibuan bertanya kepada Jess, “feeling-mu vonisnya gimana Jess?”. “Aku yakin bebas Om”, jawabnya. “Tapi, kamu harus tetap menyediakan ruang untuk kemungkinan terburuk. Kalau kamu divonis 10 tahun?”, tanya Otto. “Ga mau”, jawab Jess singkat. “1 tahun?”, tanya Otto lagi. Jess menggeleng. “1 hari?”, Otto kembali bertanya. “Ga mau, 1 hari pun aku ga mau Om. Divonis 1 hari pun itu kan artinya aku bersalah sedangkan aku ga melakukan apapun”.
Nyatanya Kamis 27 Oktober 2016, hakim memvonis Jessica bersalah dengan hukuman 20 tahun penjara.
Pada saat pembacaan amar putusan yang diawali oleh hakim Partahi Hutapea, Jess tampak telah mengerti bahwa Ia akan divonis bersalah. Saat sidang diskors sementara, Jess mendekat ke arah Otto Hasibuan dan para penasehat hukumnya yang lain.
Saya pun mengirimkan pesan singkat kepada salah satu kuasa hukumnya untuk menanyakan apa yang dikatakan Jess. Elisabeth Batubara menjawab, “Jess bilang dia bingung.
Kenapa keterangan saksi dan ahli hanya dibacakan sebagian. Ga ada dari yang kami hadirkan masuk pertimbangan. Berarti aku dihukum ya nanti? Berarti aku ga jadi pulang?. Rasanya mau pingsan katanya”.
Pada hari itu, Jessica dan tim pansehat hukumnya langsung menyatakan banding atas vonis 20 tahun penjara yang dijatuhkan oleh majelis hakim Kisworo, Partahi Hutapea, dan Binsar Gultom. Jumat, 28 Oktober 2016, akte permintaan banding oleh tim penasehat hukum Jessica telah ditandatangani oleh Panitera Pengadilan Tinggi Jakarta.
Sesuai dengan Pasal 236 ayat (1) KUHAP, tim penasehat hukum diberi waktu 14 hari untuk menyusun memori banding terhitung sejak permintaan banding diterima.
Saya ingat, pada kunjungan kami ke rutan pondok bambu 2 hari sebelum vonis, Jess mengatakan kepada saya: “kalau aku bebas, aku mau bikin instagram ya”.
Apakah Jessica bisa punya akun instagram sendiri nantinya?
Putusan banding oleh majelis hakim tinggi yang akan menjawabnya ...
FRISTIAN GRIEC
Catatan Jurnalis Kompas TV