Jalan Terjal Ahok di Pilkada DKI
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melalui jalan terjal di tahun ini. Diawali dengan keraguan maju melalui jalur independen
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melalui jalan terjal di tahun ini. Diawali dengan keraguan maju melalui jalur independen atau partai politik, kini Ahok dijerat kasus penistaan agama, yang memaksa elektabilitasnya terus terjun bebas menjelang pemilihan.
Dilema Jalur Independen atau Partai Politik
Awal hingga pertengahan 2016, Ahok sempat bersikeras maju melalui jalur non-partai politik atau independen di Pemilihan Kepala Daerah Jakarta 2017. Syaratnya tak mudah, Ahok harus mengumpulkan dukungan 7,5 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap atau berkisar 532.213 lembar Kartu Tanda Penduduk.
"Saya pertaruhkan posisi saya. Saya bersama-sama dengan mereka, Teman Ahok. Saya bisa mempertaruhkan dengan mereka. Kasihan lho anak-anak muda ini," ucap Ahok Maret 2016.
Ahok disokong oleh relawan berisikan anak muda, Teman Ahok. Dia memilih maju bersama seorang birokrat yang dinilainya memiliki rekam jejak baik, yakni Kepala Badan Bengelola Keuangan dan Aset Daerah Heru Budi Hartono.
Teman Ahok memulai pergerakan. Targetnya mengumpulkan 1 juta KTP. Gerai-gerai Teman Ahok di penjuru Jakarta dibuka. Antusiasme warga Jakarta untuk mendukung petahana dapat dilihat di beberapa pusat perbelanjaan, "KTP Gue Udah Buat Ahok", begitu seruannya.
Sanggup atau tidak Ahok memenuhi target pengumpulan KTP menjadi pusat perhatian. Politikus Gerindra, Habiburokhman berjanji akan terjun dari Monas bila target terpenuhi. Bahkan, Politikus Partai Persatuan Pembangunan Abraham Lunggana atau Lulung berjanji akan potong kuping, bila Ahok maju independen.
Mendekati pertengahan tahun, Teman Ahok berhasil mengumpulkan KTP -- melewati syarat minimal yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah Jakarta --. Keberhasilan mengumpulkan KTP menjadi daya jual Ahok untuk partai politik.
Tak lama satu per satu partai politik merapat. Dimulai dari Nasdem, Hanura, kemudian Golkar. Ahok pun memiliki dua tiket di Pilkada, yakni tiket maju independen dan Parpol, "Nasdem akan mendukung Ahok, baik itu dari jalur independen maupun Parpol. Dari independen kami dukung, dari Parpol juga kami dukung," ucap Surya Paloh awal Juni 2016.
Pundi-pundi KTP terus terkumpul. 19 Juni, bertempat di Markas Teman Ahok, Graha Pejaten, penghitungan KTP diadakan. Saat itu pula, Ahok dan 'Temannya' merayakan terkumpulnya 1 juta KTP agar Ahok maju independen.
Dengan gamblang Ahok mengatakan, "Teman Ahok enggak mudah kumpulkan 1 juta KTP. Kalau saya disuruh pilih, pilih Teman Ahok tapi gagal jadi gubernur atau jadi gubernur tapi tinggalkan Teman Ahok? Saya pilih gagal jadi gubernur saja," ucapnya.
Hanya selang sebulan Ahok berubah pikiran. Dalam acara halal bihalal bersama para relawan Teman Ahok di tempat yang sama -- saat perayaan terkumpulnya 1 juta KTP -- Ahok membuat keputusan kontroversial. Ahok mengumumkan niatannya maju melalui jalur Parpol.
Langkah itu diambil dengan alasan dirinya melihat ada kesamaan tujuan antara Teman Ahok dan Parpol pendukung, yakni sama-sama menginginkannya maju pada Pilkada DKI,
"Seperti yang sudah saya bilang, saya harus menghargai parpol yang sudah memberikan dukungan. Jadi, ya sudah, saya pakai parpol sajalah. Terima kasih," ucap Ahok.
Selang pengumuman itu, tak sekali dua kali Ahok bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Satu di antaranya berlangsung pada 17 Agustus 2016 di kantor DPP PDI Perjuangan. Pertemuan itu, turut dihadiri Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, juga Djarot Saiful Hidayat.
Saat ditanya bahwa pertemuan membahas Pilkada DKI, Ahok mengatakan Megawati tetap setuju dia kembali berpasangan dengan Djarot, "Bu Mega intinya, ya beliau tetap saya dengan Djarot dia setuju," kata Ahok.
PDI Perjuangan resmi memutuskan untuk kembali mengusung pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Keputusan ini diumumkan di kantor DPP PDI-P, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa (20/9/2016).
Jalan Ahok maju melalui jalur Parpol semakin mulus dengan tambahan partai dengan kursi terbanyak di DRPD DKI Jakarta dengan 28 kursi, PDI Perjuangan. Nama Heru sebagai wakil akhirnya tersingkir. Ahok-Djarot maju kembali di Pilkada DKI dengan dukungan empat Parpol, PDI Perjuangan, Nasdem, Hanura, dan Golkar. Total jumlah kursi 52, jauh di atas syarat minimal KPU, yakni 22 kursi.
Sehari berselang, Ahok-Djarot diantar oleh perwakilan petinggi Parpol, termasuk Megawati untuk mendaftar ke KPUD DKI sebagai pasangan calon yang maju di Pilkada DKI melalui jalur Parpol. Elektabilitas keduanya saat itu, menjadi yang tertinggi dibandingkan paslon lain, misal Anies Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno ataupun Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. Elektabilitas Ahok-Djarot di atas 50 persen.
Kunjungan Kerja Berujung Penistaan Agama
Ahok melangsungkan kunjungan kerja ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, sepekan setelah PDI Perjuangan memastikan mendukungnya bersama Djarot.
Dia ditemani anggota DPR RI Fayakhun Andriadi. Di sana dia berdialog dengan dua puluhan warga. Memaparkan program tambak antara warga dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pembagiannnya 80 persen untuk warga dan 20 persen untuk Pemprov DKI.
"Ini kan dimajuin, jadi kalau saya tidak terpilih pun, saya berhentinya Oktober 2017. Jadi, kalau program ini kita jalankan baik, saya yakin bapak ibu masih sempat panen sama saya sekalipun saya tidak terpilih jadi gubernur. Jadi cerita ini supaya bapak ibu semangat, jadi nggak usah pikiran, 'Ah, nanti kalau nggak terpilih, pasti Ahok programnya bubar.' Enggak, saya sampai Oktober 2017.
Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya ya kan? dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak bapak-ibu ya. Jadi kalau bapak-ibu perasaan enggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu ya, enggak apa-apa.
Karena ini kan panggilan pribadi bapak-ibu. Program ini jalan saja. Jadi bapak-ibu enggak usah merasa enggak enak. Dalam nuraninya enggak bisa milih Ahok, enggak suka sama Ahok nih, tapi programnya gua ga terima ga enak dong, jadi utang budi, janganbapak ibu punya perasaan ga enak, nanti mati pelan-pelan loh kena stroke." demikian sebagian dialog antara Ahok dengan warga mengenai program tambak, 27 September 2016.
Buni Yani, seorang dosen, menyebarkan video Ahok berdialog dengan Kepulauan Seribu. Video itu diunggah di media sosial Facebook pada 6 Oktober 2016. Video asli berdurasi 1 jam 40 menit. Sementara yang diunggah Buni Yani berdurasi 30 detik diambil dari menit 00.24.16 sampai menit 00.24.45.
Di Facebook itu tertulis:
PENISTAAN TERHADAP AGAMA?
"Bapak-Ibu (pemilih muslim).. Dibohongi Surat Almaidah 51 (masuk neraka) juga bapak ibu. Dibodohi."
"Kelihatannya akan terjadi suatu yang kurang baik dengan video ini."
Video itu menjadi viral di media sosial. Ahok dilaporkan ke polisi, sehari berselang video diunggah oleh Buni Yani. Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri pun menerima laporan dari Ustaz Habib Novel Haidir Hasan, pada 7 Oktober 2016. Novel melaporkan Ahok atas dugaan penistaan agama.
Ahok bolak-balik diperiksa Bareskrim. Tak kunjung ditetapkan sebagai tersangka, membuat masyarakat geram. Hingga muncul aksi 4 November, ketika demonstran yang berjumlah puluhan ribu turun ke jalan-jalan di pusat Jakarta. Aksi itu, untuk memprotes pernyataan Ahok yang dianggap menistakan agama Islam.
Empat hari jelang aksi, bertempat di Mabes Polri, digelar perkara penyelidikan oleh tim penyidik kepolisian atas kasus penistaan agama. Selama proses penyidikan, polisi telah mewawancarai 29 saksi dari terlapor dan pelapor serta 39 orang ahli dari berbagai bidang yaitu antara lain ahli agama, bahasa, serta digital forensik.
Rabu 16 November 2016, Polri resmi menjadikan Ahok sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama. Hal itu diumumkan oleh Kepala Bareskrim Polri, Komjen Ari Dono Sukmanto. Menurutnya, perkara harus diselesaikan di peradilan terbuka.
Dalam keterangannya, Ari mengakui, kesimpulan tim penyidik -- ada 27 orang penyidik -- tidak dicapai secara bulat, karena adanya perbedaan pendapat di antara mereka tentang status hukum Ahok.
Perbedaan ini juga dilatari perbedaan dari saksi ahli dari pihak pelapor dan terlapor yang diundang dalam gelar perkara.
"Meskipun tidak bulat, namun didominasi oleh pendapat yang menyatakan perkara ini harus diselesaikan di peradilan yang terbuka," kata Ari.
Bareskrim melimpahkan berkas ke Kejaksaan. Hingga dinyatakan P21 pada 30 November 2016. Ahok dikenai pasal sesuai dengan berkas perkara dari penyidik Polri, yaitu Pasal 156 dan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Saat menjalani persidangan, Ahok yang biasanya garang, menangis saat membacakan eksepsi atau nota keberatas atas dakwaan jaksa penuntut umum. Dia tak kuasa menahan tangis saat bercerita tentang kedekatannya dengan keluarga angkatnya yang muslim.
Dalam nota keberatannya, Ahok mengatakan, dalam kehidupan pribadinya, dia banyak berinteraksi dengan teman-temannya yang beragama Islam. Hingga akhir pembacaan eksepsi, Ahok terlihat beberapa kali mengusap air matanya dan bicara dengan suara bergetar
"Saya tidak habis pikir kenapa saya dituduh sebagai penista agama Islam? Keluarga dari keluarga nonmuslim. Saya diangkat sebagai anak sebagai bapak Baso Amir dan Haji Misribu," ucap Ahok 12 Desember 2016.
Kasus penistaan agama yang menjeratnya mempengaruhi elektabilitasnya. Kini, elektabilitas Ahok-Djarot terus tergerus, dua bulan jelang pemilihan. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas pada Desember ini, elektabilitas petahana berada di bawah pesaingnya.
Hasilnya menunjukkan elektabilitas pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni tercatat paling tinggi, yakni 37,1 persen. Sementara Ahok-Djarot berada di posisi kedua dengan mendapat 33 persen responden. Di posisi ketiga pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan potensi keterpilihan 19,5 persen.