Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Isu Pribumi dan Nonpribumi A-historis

Pilkada DKI Jakarta satu-satunya momen pilkada serentak 2017 yang marak diwarnai dengan aksi propaganda isu pribumi dan nonpribumi.

Editor: Rachmat Hidayat
zoom-in Isu Pribumi dan Nonpribumi A-historis
Ist
Ketua Umum DPP PA GMNI, Ahmad Basarah. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Pilkada DKI Jakarta satu-satunya momen pilkada serentak 2017 yang marak diwarnai dengan aksi propaganda isu pribumi dan nonpribumi.

Kenyataan tersebut tentu saja membuat perasaaan kebangsaan menjadi miris. Hal itu bukan saja membuat kohesifitas persatuan nasional menjadi terkikis tetapi di dalam propaganda itu juga terkandung misi politik pecah belah atau devide et impera.

Yang dulu dipraktekan Belanda sehingga dapat menguasai dan menjajah Indonesia ratusan tahun lamanya.Pandangan ini disampaikan Ketua Umum DPP PA GMNI, Ahmad Basarah,Selasa (18/4/2017).

Menurutnya, secara historis, isu pribumi dan non pribumi cukup kompleks. Gelombang migrasi manusia ke wilayah Indonesia sangat panjang. Bahkan sebelum Islam datang sudah ada Hindu dan Budha.

"Di masa-masa kolonialisme melawan penjajah hampir semua komponen bangsa sudah ikut terlibat dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Bahkan Komunitas Tionghoa juga berperan dalam kemerdekaan Indonesia," ungkap Basarah.

Bahkan dalam rapat BPUPK terdapat Liem Koen Hian,Tan Eng Hoa, Oei Tiang Tjoi dan Oei Tjong Hauw yang berasal dari keturunan Tionghoa dan AR. Baswedan yang keturunan Arab," ujarnya lagi.

Basarah memaparkan dalam Perumusan UUD 1945 oleh BPUPKI, Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, menyebutkan Presiden Indonesia ialah orang Indonesia asli, juga tidak pernah dimaksudkan membedakan warga negara Indonesia pribumi yang dapat menjadi Presiden.

Berita Rekomendasi

Dan warga negara Indonesia non  pribumi (peranakan) dibatasi tidak   dapat menjadi calon Presiden. Basarah menjelaskan kehadiran Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 naskah asli (sebelum perubahan) pada waktu itu dilatarbelakangi persiapan kemerdekaan Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Jepang.

Sehingga pasal tersebut untuk membatasi agar orang asing dalam hal ini orang Jepang tdk boleh menjadi Presiden Indonesia.

"Bung Hatta berpandangan,seorang Indonesia tulen haruslah menghilangkan penyakit provinsialisme.   Seorang Indonesia tulen tak perlu curiga atau menutup   diri terhadap kehadiran manusia Indonesia   lain yang mungkin berbeda suku, agama, keyakinan   politik, dan lain-lain," papar Basarah.

"Mmanusia Indonesia asli  tak lagi mengenal label pribumi dan  pendatang.Baik Bung Karno dan Bung Hatta sadar,primordialisme adalah cara  penjajah  untuk  memecah belah Indonesia," lanjutnya.

Basarah menerangkan, pasca amandemen UUD 1945, corak nasionalisme yang dituju adalah nasionalisme sipil (civic nationalism). Kebangsaan yang dibangun lewat adanya pengakuan dan kesetiaan pada otoritas konstitusional.

Dengan kata lain, ikatan yang dibangun dalam nasionalisme ini didasarkan atas kewarganegaraan yang diatur dalam konstitusi.Pasal 27 Ayat 1 UUD, sebagai dasar perlindungan dari diskriminasi etnis, yang berbunyi;   Segala   Warga   negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Negara, melalui Pasal 27 Ayat 1 ini, secara tegas memberikan pengakuan yang sama dengan tidak   membeda-bedakan warga negaranya dalam  mendapatkan akses sosial maupun hukum.

"Bertolak belakang dengan itu, ada jenis nasionalisme   etnis (ethnic nationalism),  dimana ikatan kebangsaan yang dibangun berdasar kesamaan bahasa, kebudayaan dan darah keturunan etnis," Basarah menegaskan.

Bahkan untuk memberikan kepastian hukum agar tidak boleh ada diskriminasi bangsa Indonesia atas perbedaan Suku dan Ras, ia menegaskan kembali, pemerintah bersama DPR RI telah membuat UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Mereka yang melanggar UU tersebut bahkan diberikan sanksi pidana berupa ancaman hukuman badan satu tahun penjara atau denda 100 juta rupiah.

Menurut PA GMNI, karena Pilkada DKI ini adalah agenda negara dan bukan agenda agama untuk memilih pelayan masyarakat dan bukan pemimpin agama.

Ia berharap, semua pihak tunduk pada otoritas hukum negara yang telah disepakati bersama secara nasional.

"Kita jadikan Pilkada DKI ini sebagai sarana untuk memilih pemimpin yang sesuai kebutuhan warga Jakarta. Agar Ibu Kota negara dapat menjadi kota yang mencerminkan peradaban yang tinggi bangsa Indonesia di mata rakyat Indonesia sendiri dan juga dunia internasional," Basarah menegaskan kembali.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas