Ini Sejumlah Faktor Diduga Penyebab Kekalahan Ahok-Djarot di Pilgub DKI
Hasil yang mengejutkan membuat semua lembaga survey meleset dalam membuat prediksi hasil akhir Pilkada DKI Jakarta putaran kedua.
Penulis: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekali lagi Pilkada DKI Jakarta Jakarta menunjukkan anomali data.
Hasil yang mengejutkan membuat semua lembaga survey meleset dalam membuat prediksi hasil akhir Pilkada DKI Jakarta putaran kedua.
Pasangan calon Anies-Sandi unggul dengan raihan suara 57,95%, jauh mengungguli Ahok-Djarot yang hanya meraih 42,05% suara, menurut data real count KPU DKI Jakarta.
“Tidak ada satu pun lembaga survei yang berhasil memprediksi kemenangan telak Anies-Sandi,” ungkap Direktur Indonesia Watch for Democracy (IWD) Endang Tirtana, Selasa (25/4/2017) di Jakarta, mengomentari rilis sejumlah lembaga survei jelang hari-H pencoblosan.
Bahkan yang dikatakan mendapat rapor biru seperti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang hanya mematok suara Anies-Sandi pada angka 51,4%.
“Selisih prediksi suara Anies-Sandi dengan Ahok-Djarot versi LSI-Denny JA hanya 8,7%, jauh berbeda dengan real count KPU yang mencapai 15,9%,” lanjut Endang.
Lembaga-lembaga survei lain seperti Media Survei Nasional (Median), Saiful Mujani Research Center (SMRC), dan Charta Politika memprediksi suara Anies di bawah angka 50%.
“Prediksi Median 49,0%, SMRC 47,9%, Charta Politika 44,8%,” papar Endang.
Dari hasil tersebut tidak satupun lembaga yang berada di dalam margin error.
“Dengan margin of error dan undecided voters yang makin kecil jelang pencoblosan, semua survei gagal memprediksi lonjakan suara Anies pada hari-H,” kata Endang.
Bahkan catatan khusus bagi LSI Denny JA, seperti terekam di media, pada saat posisi data masuk Quick Count LSI Denny JA mencapai 99,7%, Anies-Sandi unggul 55,41% suara dibanding Ahok-Djarot dengan perolehan suara 44,59%.
Namun lompatan yang secara statistilk tidak mungkin terjadi ketika data masuk 100%, perolehan suara Anies-Sandi 57,67% dan Ahok-Djarot 42,33%.
“Jika KPU ingin melakukan audit, saya rasa fakta mengherankan ditengah semua lembaga yang melakukan Quick Count pada hari tersebut, maka data LSI Denny JA juga adalah merupakan Anomali dalam real-count Pilkada DKI Jakarta Putaran kedua” pungkas Endang.
Ada beberapa faktor yang kemungkinan bisa menjelaskan ini.
IWD merilis beberapa momentum penting di minggu terakhir menjelang pemungutan suara.
Beberapa kejadian tersebut merugikan kedua pasangan calon. Namun yang paling dirugikan adalah pihak Ahok-Djarot, dengan insiden di Changi Airport.
Sentiment Ahok-Djarot yang tadinya sudah cenderung dingin masalah agama dan SARA, kembali bangkit dengan adanya kasus tersebut. Belakangan isu tersebut diduga Hoax belaka karena Steven Hadisurya Sulistyo yang disebut-menghina Gubernur NTB tak pernah kelihatan wujudnya.
"KTP yang beredar di media juga diragukan kebenarannya," kata Endang.
Pukulan terhadap kubu Ahok-Djarot diperparah dengan diijinkannya peserta wisata Al-Maidah dari luar kota Jakarta untuk masuk menyaksikan pencoblosan di TPS.
"Ini melipatgandakan faktor “fearness” atau ketakutan yang membuat banyak pendukung Ahok tidak hadir ke TPS," ujar Endang.
Endang menjelaskan bahwa dari data yang ada, banyak pemilih Ahok-Djarot tidak datang ke TPS.
"Ini sudah dijelaskan oleh beberapa lembaga sebelumnya bahwa Trend Ahok-Djarot cenderung menunjukkan kenaikan di minggu terakhir menjelang pemungutan suara. Satu tugas berat tim Ahok-Djarot adalah membangkitkan kepercayaan diri dan mengubah ketakutan pendukungnya agar datang ke TPS dan melakukan pencoblosan, itu gagal dilakukan," kata Endang.
Menurut dia, jika melihat rapatnya tekanan kepada pendukung Ahok-Djarot, apalagi dengan menggunakan isu agama dan etnis, maka bisa dipastikan kekalahan Ahok-Djarot di Pilkada DKI Jakarta adalah akumulasi dari sentiment etnis dan SARA yang diarahkan kepada mereka dan diperburuk lagi dengan ketakutan yang sangat dalam di pendukung mereka, sehingga memilih untuk tidak datang ke TPS.
Akumulasi dua hal tersebut, menurut Endang, membuat swing voters sekitar 6-8% akhirnya beralih ke Anies-Sandi, belum lagi persaan takut akibat intimidasi yang sistematis dan terstruktur semakin memperlebar margin kemenangan Anies-Sandi menjadi sekitar 15%.
Sejumlah momentum penting di minggu akhir menjelang pencoblosan:
Yang Sifatnya Merugikan Anies-Sandi :
1. Pengusiran Djarot dari salah satu masjid di Tebet
2. Aksi Bagi-bagi Sembako
3. Tertangkapnya Kader PKS akibat terkait upaya makar
4. Tertangkapnya kader PKS dengan tuduhan asusila
5. SMS yang menagih komitmen dan janji tim sukses memberikan Rp. 500.000,-
Yang sifatnya Merugikan Ahok-Djarot :
1. Insiden Umpatan Steven kepada Tuan Guru Bajang di Bandara Changi
2. Aksi Bagi-bagi sembako
3. Video Preman mengamuk di Rusun
4. Diijinkannya Wisata Al Maidah dari luar Jakarta.
Menurut Endang, penjelasan yang paling mungkin, telah terjadi perubahan signifikan usai survei dengan saat pencoblosan. Selain itu, Banyak faktor yang mungkin mengubah pilihan selama minggu tenang.
Endang menyoroti rencana aksi Tamasya Al-Maidah yang dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk intimidasi terhadap calon pemilih. “Sentimen agama jadi faktor paling dominan,” tutur Endang.
Publik melihat selama rangkaian Pilkada DKI, isu SARA dan politisasi agama menjadi bahan kampanye untuk mendelegitimasi calon petahana.
“Survei-survei menunjukkan, tingkat kepuasan terhadap Ahok sangat tinggi, tetapi elektabilitas jauh di bawah,” kata Endang.
“IWD mengkhawatirkan modus serupa akan kembali digunakan dalam Pilkada 2018 mendatang. Ini jelas pradoks dalam praktek demokrasi di Indonesia, ketika faktor etnis dan agama bisa mengalahkan faktor prestasi dan kapasitas, jika diteruskan akan jadi sangat berbahaya bagi demokrasi kita,” pungkas Endang.
Seperti diketahui, pilkada serentak akan kembali digelar dalam jumlah lebih banyak tahun 2018.