Perda KTR Harus Memperhatikan Pedagang Ritel
Dengan begitu, target negara untuk mendapatkan penerimaan dari pajak Rp 1.618 triliun dan cukai Rp 155,4 triliun akan sulit tercapai.
Penulis: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor diminta berhati-hati dalam menerapkan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) dan menyusun perubahannya. Beleid tersebut berpotensi menimbukan dampak pada aspek sosial dan ekonomi.
Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menyatakan Perda KTR yang tidak bijaksana akan berimbas langsung kepada pertumbuhan ekonomi daerah dan tenaga kerja.
“Rata-rata ritel kecil seperti kelontong yang sangat bergantung pada penjualan rokok. Kalau sedikit saja kebijakan yang berpengaruh pada rokok, mereka akan terkena dampaknya dan dapat meningkatkan angka kemiskinan,” kata Bhima, Selasa (24/4/2018).
Di industri rokok nasional, jumlah tenaga kerja langsung dan tidak langsung mencapai lebih dari 7 juta orang. Dua juta orang di antaranya bekerja di sektor perdaganganya.
Di dalam satu batang rokok, menurut Bhima, terdapat potensi penerimaan negara dari pajak rokok sebesar 5,7% dan cukai rokok 57%.
Dengan begitu, target negara untuk mendapatkan penerimaan dari pajak Rp 1.618 triliun dan cukai Rp 155,4 triliun akan sulit tercapai.
“Jika benar diterapkan, dampak dari kebijakan ini akan langsung terasa. Dilihat dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, produksi rokok turun cukup signifikan,” pungkasnya. Sementara untuk tahun ini, Bhima melanjutkan Kementerian Keuangan memprediksi produksi rokok nasional mengalami penurunan sebesar 9,8 miliar batang.
Saat ini, Perda KTR Nomor 12 Tahun 2009 sedang dibahas di DPRD Kota Bogor. Revisi tersebut ditargetkan rampung pada akhir tahun ini. Bhima meminta Pemkot dan DPRD Kota Bogor memikirkan nasib para pedagang ritel.
“Peraturan yang dibuat janganlah melarang, tetapi harus memberikan solusi bagi mereka yang saat ini menggantungkan hidupnya dari industri rokok. Setiap kebijakan yang berpengaruh terhadap ekonomi, apalagi terhadap rakyat kecil harus ada komunikasi intensif,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Forum Silaturahmi Pedagang Pasar Bogor (FSPB) Amar Nasution. Dia menyatakan tak setuju dengan rencana larangan pemajangan dan penjualan rokok di pasar tradisional. "Kalau untuk tidak merokok, saya setuju. Tapi kalau tidak memajang atau menjual, akan ada aktivitas ekonomi yang berpengaruh besar," ujarnya.
Untuk itu, ia meminta DPRD Kota Bogor mengevaluasi kembali Raperda KTR. Terutama berkaitan dengan potensi merusak perputaran roda ekonomi jika sampai rokok tak boleh dipajang atau dijual di pasar tradisional. "Berapa persen aktivitas ekonomi di pasar tradisional yang bisa hilang kalau rokok dilarang dijual dan dipajang. Ini harus menjadi perhatian serius," tandasnya.
Kemendagri pun sempat angkat bicara terkait polemik ini. Kurniasih, yang saat itu menjabat Direktur Direktorat Produk Hukum Daerah Kementerian Dalam Negeri, mengakui ada beberapa daerah yang membuat regulasi tanpa mengacu peraturan di atasnya. Hal ini dikarenakan minimnya sosialisasi.
"Perda KTR Perlu disikapi dengan bijak. Sinkronisasi antara aturan yang lebih tinggi dan keinginan daerah untuk mengatur perlu dilakukan. Sehingga, hubungan pusat dan daerah berjalan selaras," kata Kurniasih.