Medsos Tidak Digunakan untuk Hal yang Dapat Menimbulkan Perpecahan di Masyarakat kata Hendri Satrio
Memasuki tahun 2019, berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian makin merajalela. Bahkan di tahun baru ini, ‘serangan’ hoax terkait Pemilihan Presiden
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hate Free Day (Hari Bebas Kebencian) atau Hoax Free Day (Hari Bebas Hoax) bisa menjadi solusi untuk menciptakan perdamaian bangsa.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio meminta kepada masyarakat yang memiliki akun media sosial agar dapat bertanggung jawab atas akun yang dimilikinya. Hal ini agar tidak digunakan untuk hal-hal yang dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat
“Memiliki akun media sosial itu sebenarnya tidak mudah, karena mereka harus bisa mengontrol dan harus bisa memilah, kira-kira pesan-pesan apa saja yang bisa disampaikan atau tidak. Ini agar tidak menimbulkan kontroversi di kemudian hari. Ini yang harus diperhatikan para pemilik akun media social,” ungkap Hendri Satrio, Jumat (4/1/2019).
Hendri melanjutkan, walaupun saat ini sudah ada Undang-Undang Informasi dan Transsksi Elektronik (UU ITE), namun menurutnya Bahasa Indonesia ini adalah Bahasa yang sangat luas ragam kata dan maknanya.
“Dengan ragam kata dan makna yang luas dari Bahasa Indonesia ini sehingga bisa digunakan dengan berbagai cara untuk menghindari UU ITE tersebut,” ujarnya.
Namun yang paling penting, menurutnya adalah bagaimana pemerintah dapat merespon adanya penyebaran hoax ataupun ujaran kebencian itu dengan cepat dan tidak berlebihan. Dengan adanya hate free day itu menurutya bisa dimulai dari hoax free day terlebih dahulu.
“Karena dengan adanya hoax free day itu tentunya masyarakat akan mencoba minimal untuk diperkenalkan bahwa hari ini kita tidak bisa mengeluarkan kata-kata atau berita hoax. Setelah itu masyarakat kita ajak untuk tidak melakukan ujaran kebencian melalui hate free day tersebut,” jelasnya.
Terkait apakah hoax ataupun ujaran kebencian itu akan mereda setelah digelarnya pemilihan presiden (Pilpres) 2019 ini, Hendri mengatakan bahwa hal tersebut tentunya tergantung dari pemerintah yang terpilih itu sendiri.
“Buktinya sampai saat ini pemerintah masih belum bisa meredam residu dari 2017, nah ini yang sebenarnya harus dilakukan. Program ekonomi tentunya menjadi salah satu yang bisa diharapkan untuk meredam kebencian itu karena kalau perut rakyat kenyang mudah-mudahan hidup mereka juga lebih bahagia dan sejahtera,” katanya.
Selain itu, kata Hendri, karakter dari masyarakat Indonesia ini terkadang juga tergantung dari pemimpinnya dimana rakyat atau relawan ini sebenarnya akan menurut dengan pemimpinnya.
Untuk itu keinginan untuk menghindari hoax ataupun ujaran kebencian itu harus muncul dari pemimpinnya terlebih dahulu.
“Misalnya dari para Capres dan Cawapres itu memang harus menyampaikan untuk tidak memberikan hoax atau tidak mengeluarkan kebencian-kebencian,” katanya.
Ia juga meminta kepada para Capres dan Cawapres untuk dapat mengontrol para relawan pendukungnya. Dirinya menilai kalau di level Tim Kampanye Nasional (TKN) atau Badan Pemenangan Capres dan Cawapres ini bisa untuk mengontrol itu. Namun kalau hal tersebut tidak diikuti para relawan atau para simpatisannya juga akan percuma.
“Menurut saya pekerjaan rumah terbesar bagi para tim sukses para calon capres dan cawapres itu adalah harus dapat mengajak dan juga dapat mengontrol relawan-relawan berserta para simpatisannya untuk tidak mengeluarkan hoax ataupun ujaran kebencian, dan berhenti setelah pilpres 2019 ini selesai dilaksanakan,” paparnya.