Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Sarono, Seorang Pemecah Batu yang Hidupi 75 Anak Yatim Piatu

"Sudah banyak (pasirnya) tetapi enggak ada yang beli. Terus ada ibu-ibu nanyain ini buat apa, saya bilang ini buat pasir," katanya

Editor: Imanuel Nicolas Manafe
zoom-in Kisah Sarono, Seorang Pemecah Batu yang Hidupi 75 Anak Yatim Piatu
TribunJakarta.com/Dionisius Arya Bima Suci
Sarono (61), pemecah batu tunanetra di Jakarta Timur, Rabu (20/2/2019) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sinar matahari siang itu terasa sangat panas. Namun panasnya tak membuat seorang pria di ujung Jalan Cipinang Jaya II B, Cipinang Besar Selatan itu berhenti memecah batu.

Hanya ada topi caping yang melekat di kepalanya demi melindungi terpaan sinar matahari. 

Baca: Kisah Putra, Bocah SD Yatim Piatu Jualan Cilok Hidupi Keluarga, Ditabrak Mobil Diminta Gati Rugi

Peluhnya tampak membasahi kaus lengan pendek berwarna biru yang ia kenakan.

Namanya, Sarono. Pria itu sehari-hari mencari nafkah sebagai pemecah batu.

Namun, ia bukan pemecah batu biasa. Sebab, sejak 18 tahun lalu, Sarono kehilangan penglihatannya.

Kendati demikian, indra yang berkurang ini tak menyurutkan semangatnya untuk mencari rezeki yang halal.

"1999 sudah rabun parah. 2001 itu sudah enggak melihat total. Kadang saya kecebur got, tabrak tiang listrik, tetapi ambil hikmah semua nikmat Allah," ucap Sarono.

Berita Rekomendasi

16 tahun memecah batu Pria 61 tahun ini sejak tahun 2003 menjadi pemecah batu.

Ia memutuskan untuk menjalani pekerjaan tersebut lantaran pekerjaan sebelumnya, baik sebagai pedagang telur asin dan pedagang pisang goreng, tak mendapatkan hasil.

"Dari 2003 saya merenung sambil melamun saya sempat dagang telur asin, pisang goreng, tetapi setelah itu menganggur 3 bulan," kata dia.

Sempat terbesit di pikirannya untuk menjadi pengemis ketika itu. Namun, ia sadar bahwa tubuhnya masih bisa bekerja meskipun satu indranya tak berfungsi lagi.

"Sempat tergoda setan buat ngemis tetapu alhamdullillah enggak tergoda. Pas itu saya lagi pulang, ada tumpukan material saya kepentok jatoh. Saya pegang itu batako, saya berpikir 'Ini kan dari pasir akhirnya saya coba getokin'. Nah itu awal mula bagaimana saya jadi pemecah batu," ujar Sarono sembari mengingat-ngingat peristiwa 16 tahun lalu.

Memutuskan untuk menjadi pemecah batu juga bukanlah hal yang mudah.

Ia sempat mengalami kesulitan pada awal melakukan pekerjaan tersebut lantaran tak ada satu pun pembeli.

"Sudah banyak (pasirnya) tetapi enggak ada yang beli. Terus ada ibu-ibu nanyain ini buat apa, saya bilang ini buat pasir, alhamdullillah dia nawar, dia beli," kata dia.

Sarono mengaku tak mematok harga untuk menjual hasil pecahan batu yang telah menjadi pasir. Pria asal Kebumen, Jawa Tengah ini rela dibayar berapa pun sesuai keikhlasan sang pembeli.

Baca: Bocah 12 Tahun Menyambi Dagang Cilok Sambil Sekolah untuk Bantu Beli Susu Adik

"Pendapatan enggak tentu walaupun prosesnya lama. Saya jual juga enggak patokin harga, seikhlasnya saja yang mau beli sekarung berapa," ujar Sarono.

"Biasanya ada yang beli Rp 10.000 sekarung ada yang Rp 20.000 minta 3 karung ya Alhamdullillah enggak apa-apa," sambung dia.

Biayai 75 anak Yatim Piatu

Meski pendapatannya tak seberapa, Sarono mengaku terpanggil untuk membantu anak yatim piatu.

Semua itu berawal ketika ia bertemu dengan seorang ibu yang membawa anak dan diketahui sudah tak mempunyai ayah.

Baca: Yatim Piatu, Begini Kisah Hidup Ronaldikin yang Tetap Rendah Hati Meski Sudah Terkenal

"Jadi pertama saya sndiri enggak nyari anak yatim tapi Allah gerakin. Waktu itu saya ke Pasar Gembrong, saya masih bisa samar-samar melihat tahun 2002 saya beli makanan burung karena dulu hobi melihara burung," kata Sarono.

"Pas mau pulang naik angkot ada ibu-ibu bantu nyetopin (angkot) ibunya gendong anak, anaknya teriak mau jajan saya kasih ongkos sedikit. Akhirnya setelah itu saya coba ke rumah ibu itu, saya samperin tanya RT soal benar enggak sudah yatim. Ternyata benar. Ya dari situ saya mulai membantu anak-anak," ucap dia.

Sarono mengaku bersyukur bisa membantu para anak yatim. Sebab, ia pun tak mempunyai anak kandung dan hanya tinggal berdua dengan istrinya di rumah kecil yang tak jauh dari lokasi ia memecahkan batu.

Hingga kini, anak yatim yang dibiayai pendidikannya oleh Sarono berjumlah 75 orang.

Anak-anak ini memang tak menetap di rumahnya, tetapi selalu datang mengunjungi Sarono dan istrinya ke rumah untuk mengaji bersama, bermain, maupun berkumpul.

"Saya mulai merawat anak yatim maupun duafa yang punya ayah tetapi enggak pernah diurusin. Saya berani tanggung jawab ke Allah, saya urusin anak ini," ujar Sarono.

Bahkan, beberapa dari anak angkatnya sudah duduk di bangku kuliah atau bekerja. Dibantu Untuk membiayai pendidikan para anak yatim itu, Sarono sebenarnya tak sendiri.

Ia mengaku dibantu para donatur yang sering memberikan sumbangan untuk membantu pendidikan puluhan anak angkatnya.

"Saya bukan yayasan, saya mendidik anak-anak hanya meminta kepada Allah, tetapi alhamdullillah ada saja donatur yang datang. Ada dari Cipinang, Rawa Belong, Bekasi, Depok, pernah juga dari Singapura sampai London itu kasih sumbangan," kata dia.

Baca: Inspiratif! Meski Disabilitas, Pengajar Ini Gigih Membagi Ilmu

Ia berharap, apa yang diusahakannya saat ini bisa membawa kebaikan dan manfaat bagi para anak angkatnya.

"Ini kan sedekah jariyah, insya allah walaupun sedikit tetapi bisa bantu saya ketika sudah enggak di dunia," ujar dia. (Kompas.com/TribunJakarta.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas