Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Alasan Anies Getah Getih Tak Berbahan Dasar Baja Hingga Kritik Memakan Biaya Rp 550 Juta

Lain halnya jika Getah Getih dibuat dari besi, tentu bahan bakunya harus diimpor dari luar negeri seperti dari Tiongkok/China

Editor: Imanuel Nicolas Manafe
zoom-in Alasan Anies Getah Getih Tak Berbahan Dasar Baja Hingga Kritik Memakan Biaya Rp 550 Juta
Alex Suban/Alex Suban
Instalasi bambu karya Joko Avianto berjudul "Getih Getah Pasukan Majapahit" terpasang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (15/8/2018). Karya seni ini ditopang 73 bambu menandai usia NKRI, menghabiskan 1.500 bambu dengan ketinggian sekitar 20 meter dan lebar 13 meter. (Warta Kota/Alex Suban) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembongkaran kerajinan dari bambu yang dinamai Getah Getih di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat menuai polemik.

Sebagian pihak menilai pembongkaran tersebtu mubazir lantaran belum genap setahun dan telah menelan biaya senilai Rp 550 juta.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun angkat bicara terkait hal itu.

Dia menjelaskan alasannya memilih bambu sebagai bahan dasar pembuatan Getah Getih yang menelan dana mencapai Rp 550 juta.

Ia mengatakan, dengan menggunakan bambu, maka anggaran proyek ini dapat dinikmati oleh para rakyat kecil yakni petani bambu.

Lain halnya jika Getah Getih dibuat dari besi, tentu bahan bakunya harus diimpor dari luar negeri seperti dari Tiongkok/China.

"Uang itu diterima oleh rakyat kecil."

Berita Rekomendasi

"Kalau saya memilih besi, maka itu impor dari Tiongkok mungkin besinya."

"Tapi, kalau ini justru diterima petani bambu, pengrajin bambu," ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (19/7/2019).

Baca: Awal Pemasangan Bambu Getih Getah di Bundaran HI yang Kini Dibongkar, Berawal dari Tantangan Anies

Baca: Instalasi Bambu Getih Getah di Bundaran HI: Menelan Rp 550 Juta, Bertahan 11 Bulan, Kini Dibongkar

Sebab ia meyakini Indonesia tak pernah mendatangkan bahan baku bambu dari luar negeri.

"Kalau besi belum tentu produksi dalam negeri, tapi kalau bambu hampir saya pastikan tidak ada bambu impor. Bambunya produksi Jawa Barat dikerjakannya oleh petani oleh pengrajin lokal. Jadi angka yang kemarin kita keluarkan diterimanya oleh rakyat kebanyakan," ungkap Anies.

Berikut beberapa fakta terkait instalasi bambu 'Getah Getih' di Bundaran HI yang tinggal kenangan. Menelan biaya Rp 550 juta dan hanya bertahan 11 bulan.
Berikut beberapa fakta terkait instalasi bambu 'Getah Getih' di Bundaran HI yang tinggal kenangan. Menelan biaya Rp 550 juta dan hanya bertahan 11 bulan. (KOMPAS.com/DAVID OLIVER PURBA/RYANA ARYADITA UMASUGI)

Ia menegaskan dari awal dirinya sudah menyampaikan bahwa anyaman bambu karya Joko Avianto itu memang tak bertahan lama meskipun menelan dana yang cukup besar Rp 550 juta.

"Ya dari awal sudah saya garis bawahi bahwa kita menggunakan material lokal bambu. Pada waktu itu malah saya katakan diperkirakan usianya enam bulan saja," kata Anies.

Lagi pula, anyaman bambu itu dipasang dalam rangka menyambut perhelatan Asian Games 2018.

Fakta impor baja

Dihimpun dari data The South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) pada tahun 2018, jumlah importasi baja di Indonesia mencapai 7,6 juta ton.

Bahkan komoditas besi dan baja tercatat sebagai komoditi impor terbesar ke-3, yaitu sebesar 6,45% dari total importasi dengan nilai US$ 10,25 miliar (Badan Pusat Statistik, 2018).

Yerry Idroes, Executive Director Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional/The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) mengungkapkan, kenaikan importasi baja dari tahun 2018 hingga kuartal 1 2019 masih cukup tinggi.

Baca: Pemerintah Diharapkan Awasi Ketat Baja yang Masuk ke Dalam Negeri

Kenaikan ini tidak hanya terjadi pada produk baja hulu seperti Hot Rolled Coil/Plate, Cold Rolled Coil dan Wire Rod, tetapi juga terjadi pada produk baja hilir seperti halnya Coated Sheet (produk baja lapis) yang saat ini kondisinya cukup mengkhawatirkan di mana volume impornya sangat tinggi.

“Data dari Badan Pusat Statistik, pada Januari—Maret 2019, jumlah impor besi dan baja meningkat 14,75% secara year on year menjadi US$ 2,76 miliar. Kenaikan impor produk tersebut menjadi yang terbesar keempat”, ungkap Yerry dalam keterangan persnya, Kamis (11/7/2019) sebagaimana dikutip dari Kontan.id.

Salah satu faktor yang membuat importasi baja pada kuartal 1 2019 meningkat adalah masih terdapatnya kuota importasi untuk kategori baja karbon maupun baja paduan lainnya dari Surat Persetujuan Impor (SPI) yang telah diterbitkan sebelum diberlakukannya Permendag No. 110/2018 pada 20 Januari 2019 lalu.

Kuantitas impor baja paduan lainnya yang masuk ke Indonesia melalui praktik circumvention (pengalihan pos tarif) menunjukkan peningkatan yang signifikan. Circumvention adalah praktik pengalihan kode HS dari baja karbon ke baja paduan.

Caranya adalah dengan menambah sedikit unsur paduan seperti boron atau chromium ke dalam baja sehingga produk baja tersebut dapat dikategorikan sebagai baja paduan.

“Pada tahun 2018 untuk jumlah importasi baja paduan lainnya/alloy steel mencapai 2,9 juta ton SEAISI, 2018). Hal tersebut telah membuat industri baja nasional semakin terhimpit dan merugi karena produk impor baja paduan lainnya ikut mengisi pangsa pasar baja karbon yang seharusnya dapat diisi oleh produk dalam negeri,” ujar Yerry.

Jumlah importasi baja paduan lainnya hingga kuartal 1 2019 dari data SEAISI menunjukkan bahwa pada Januari—Maret 2019, jumlah impor baja dari China untuk kategori produk baja paduan Hot Rolled Coil meningkat 83% secara year on year atau sebesar 147 ribu ton.

Sedangkan jumlah impor produk baja paduan Cold Rolled Coil meningkat secara tajam hingga 302% secara year on year atau sebesar 53 ribu ton.

Pengalihan pos tarif dari baja karbon menjadi baja paduan pada importasi produk-produk baja telah mengganggu penjualan produsen dalam negeri karena produk-produk baja paduan tersebut digunakan oleh pengguna baja karbon, sehingga menyebabkan pangsa pasar produsen dalam negeri semakin menyusut yang diambil alih oleh produk baja paduan impor.

Selain merugikan produsen baja nasional, penyalahgunaan kategori baja paduan tersebut juga merugikan negara, karena importir tidak membayar bea masuk (MFN/BMTP/BMAD) ataupun membayar bea masuk tetapi lebih rendah dari yang seharusnya.

Yerry menuturkan, pengendalian importasi besi dan baja harus menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk pemerintah, asosiasi maupun produsen nasional harus berkomitmen dan berperan aktif dalam upaya mengendalikan importasi besi dan baja yang telah menjadi salah satu faktor defisitnya neraca perdagangan RI.

“IISIA bersama produsen baja nasional telah menyampaikan permohonan terkait dengan informasi/data Pertimbangan Teknis dan SPI atas baja paduan yang telah dirilis setelah berlakunya Permendag No. 110/2018 sebagai bahan analisa dan evaluasi bersama terkait dampak negatif dari jumlah kuota impor baja. Kami berharap pemerintah dapat merespon segera pengajuan kami, dimana hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)”, tambah Yerry.

Kebijakan pengendalian impor besi dan baja melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 110 Tahun 2018 (Permendag No.110/2018) tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan dan Produk Turunannya dinilai penting, di tengah masih membanjirnya produk besi dan baja murah dari luar negeri yang hingga saat ini jumlahnya masih terus mengalami peningkatan.

Dikritik Hanura

Anies Baswedan memberikan tanggapan soal bamb saat dikritik Sekretaris Fraksi Partai Hanura DPRD DKI Jakarta, Veri Yonnevil.

Pasalnya, Veri menilai pemasangan instalasi anyaman bambu yang diberi nama Getah - Getih oleh Anies merupakan hal yang sia-sia.

Dana sebesar Rp 550 Juta menurut Veri sebaiknya diberikan untuk rakyat kecil yang lebih membutuhkan dalam jangka panjang seperti pembangunan rumah atau Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA).

Menurut Anies Baswedan, kritikan tersebut tak sesuai, sebab Getah Getih dibuat hanya untuk menyambut perhelatan olahraga Asian Games saja.

"Ini kan bukan jangkan panjang, ini sesuatu yang kita lakukan untuk menyambut Asian Games dan sekarang, sudah selesai Asian Games-nya," ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (19/7/2019).

Bahkan Anies mengklaim 11 bulan adalah bonus, sebab seharusnya bambu dengan harga setengah miliar itu hanya bisa bertahan enam bulan saja.

"Pada waktu itu malah saya katakan diperkirakan usianya (hanya) enam bulan, dan bertahan sampai bulan Juli adalah bonus," ungkap Anies.

Meskipun banyak yang menyayangkan dana sebesar itu hanya digunakan untuk bambu yang bersifat sementara, Anies tak kapok mengundang seniman untuk berekspresi di Ibu Kota.

"Kita akan mengundang lebih banyak lagi pengrajin seniman yanv menggunakan material lokal untuk mengekspresikan karyanya di Jakarta," kata Anies.

Bahkan karya-karya para seniman itu bisa dipajang dimana saja seperti di taman ataupu fasilitas umum lainnya.

"Nanti, lokasi bisa di mana saja."

"Bisa di taman, bisa di Bundaran HI. Jadi tidak harus di lokasi yang sama (seperti Getah-Getih)."

Instalasi anyaman bambu Getah Getih di Bundaran Hotel Indonesia (HI) yang dipajang pada Agustus 2018 lalu, kini, sudah dibongkar.

Penjelasan seniman

Pembongkaran bambu bernilai Rp 550 juta itu disebabkan karena faktor bambu yang sudah tak layak atau rapuh.

Joko Avianto, seniman yang membuat Getah Getih menyebut, kerusakan karyanya itu dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan lingkungan Ibu Kota yang cendrung polutif.

"Tiap lingkungan beda-beda kekuatannya, enggak bisa dibandingin karena kan bambu itu material strukturnya terdiri dari fiber dan pori-pori menyerap air, menyerap udara, bambu jadi kayak indikator lingkungannya."

"Kalau lingkungannya udah polutif banget ya begitu kejadiannya," ujar Joko, saat dihubungi, Kamis (18/7/2019).

Ia mengakui karya anyaman bambunya itu memang digunakan untuk kebutuhan dekorasi yang bersifat sementara dan tak permanen.

Memang, getah getih itu dibuatnya untuk memperindah pemandangan kota dalam rangka perhelatan Asian Games 2018 lalu.

"Sebenarnya, perencanaan waktu itu karyanya hanya untuk enam bulan, karena karya ini memang sifatnya festiv yang sifatnya buat festival," kata Joko.

Joko mengaku sudah melakukan tiga kali perawatan pada karyanya ini dengan cara memberikan pelapis tambahan pada getah getih untuk menahan serapan air.

"Kalau saya sih udah tiga kalian ya, saya kasih pelapis lagi untuk menahan air dari luar ya, cat sih intinya cat kaya semacam vernislah untuk kayu itu terus ada perbaikan-perbaikan lain," kata Joko.

Namun, pembongkaran bambu ini disayangkan oleh sejumlah warga yang setiap hari melewati Bundaran HI.

Pasalnya, anggaran yang digelontorkan tidaklah sedikit, apalagi hanya bersifat sementara saja.

"Bagus sebenernya."

"Tapi, mahal juga ya harganya."

"Saya baru tau harganya sampe segitu."

"Kalau menurut saya, itu mahal banget untuk pajangan yang sifatnya cuma sementara."

"Kenapa gak yang permanen aja biar gak beli-beli lagi. Paling engga bisa awet lebih lama," ujar Febi, salah satu pegawai yang bekerja di sekitar Bundaran HI.

Ada pula yang menyayangkan salah satu ikon Ibu Kota sudah tak ada.

Terlebih, bambu dinilai tradisional.

"Inikan ikon Jakarta yang menggambarkan tradisional ya, sayang banget kalau dibongkar. Hilang dong salahsatu ikon Jakarta," kata Yohanes.

Ia menyarankan harus ada ikon pengganti dari anyaman bambu yang sudah hits ini, paling tidak harus menggambarkan Jakarta.

"Jangan cuma tanaman penggantinya, harus ya g menunjukan Jakarta. Misalnya ditaruh ondel-ondel yang raksaksa gitu," kata Yohanes.

Sebagian artikel di atas dikutip dari : wartakotalive

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas