Bukan Alat Transportasi, GrabWheels Disarankan Beroperasi di Tempat Wisata
Penelitian tersebut mengungkapkan sebanyak 81,8% responden membutuhkan kehadiran regulasi pembatasan skuter listrik.
Penulis: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Executive Director Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menyoroti bisnis persewaan GrabWheels.
Dia memandang otoped listrik tersebut bukanlah alat bantu mobilitas.
”Tetapi memanfaatkan kebutuhan rekreasi, untuk mendapatkan keuntungan,” ungkapnya dalam diskusi “Quo Vadis Aturan Main Skuter Listrik” di Jakarta, akhir pekan lalu.
Bila memang sebagai mobilitas, sambung dia, banyak unsur yang tak terpenuhi.
Lagipula, berdasarkan data Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), hanya 35% pengguna yang tujuan penggunaannya sebagai alat transportasi.
Secara rinci, hasil survei RISED yang melibatkan 1.000 responden di Jakarta itu berjudul “Persepsi Masyarakat di DKI Jakarta tentang Penggunaan Skuter Listrik di Jalan Raya dan Trotoar”.
Penelitian tersebut mengungkapkan sebanyak 81,8% responden membutuhkan kehadiran regulasi pembatasan skuter listrik.
”Ternyata penggunaan GrabWheels tersebut tidak berkorelasi dengan kepentingan last mile-first mile, ataupun mendukung mobilitas,” terangnya.
Baca: Atur GrabWheels Cs, Polisi Sebut akan Ada Pergub Pembatasan Otoped Listrik
Untuk kawasan seperti Blok M, Cikini, Menteng, Thamrin, Sudirman, Cipete, cakupan dan jarak antar halte transportasi umum memang cukup berdekatan, yaitu berkisar 250 meter hingga 750 meter (untuk MRT).
Sementara jarak 250 meter bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 5 menit.
Maka itu, dia berharap skuter listrik harus segera diatur. Lebih tepat digunakan di tempat pariwisata dan kawasan khusus lainnya.
”Di internal kampus Ohio State University (Amerika Serikat) misalnya membantu mahasiswanya bergerak di area kampus yang luas. Atau bisa juga digunakan di tempat wisata, tetapi tentunya dengan standar keamanan. Taman Mini bisa, karena areanya luas,” tuturnya.
Elisa memandang regulator termasuk Dinas Perhubungan disarankan fokus pada peningkatan konektivitas moda angkutan umum saja.
Di tempat yang sama, Ketua Tim Peneliti RISED Rumayya Batubara memaparkan, skuter listrik yang bebas lalu-lalang di jalan bukan hanya mengganggu pengendara kendaraan bermotor resmi tetapi juga pejalan kaki.
“Warga mendukung segera terbitnya peraturan skuter listrik. Ini penting untuk menjaga keamanan dan keselamatan pengguna skuter dan pengguna jalan lain, untuk alat angkut pribadi,” ujarnya.
Hanya 24,6% masyarakat DKI Jakarta yang menjadi responden survey mendukung pengunaan alat angkut jenis itu. Selebihnya atau mayoritas tidak setuju.
Sebab sebanyak 81,7% responden menganggap penggunaan skuter listrik tidak tertib.
Berdasarkan motif atau tujuannya, sebesar 65,2% harapan responden menyatakan penggunaan skuter listrik sebagai sarana rekreasi saja.
Sebesar 34,8% lainnya dimanfaatkan sebagai sarana untuk menuju kantor dan pusat perbelanjaan.
Selain itu, sebesar 65,2% masyarakat DKI Jakarta juga mengungkapkan skuter listrik disalahgunakan di lokasi yang tidak semestinya antara lain jalan raya, trotoar pejalan kaki, dan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO).