Pengadaan Toa untuk Peringatan Dini Banjir Jakarta, Anies Baswedan: Keliling, Beri Tahu Warga
Kebijakan yang direncanakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali menuai polemik, terkait rencana penambahan pengeras suara atau toa.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Garudea Prabawati
Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapudatin) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) M Ridwan menjelaskan, pengeras suara yang memiliki nama Disaster Warning System (DWS) nantinya akan tergabung dalam sistem peringatan dini atau Early Warning System (EWS) BPBD DKI.
Ia mengatakan alat ini diperlukan agar informasi dapat tersampaikan ke warga dengan baik.
"Kalau tambah pakai toa kan akan menjadi lebih bagus untuk melengkapi informasi ke warga," ujar Ridwan saat dikonfirmasi, Rabu (15/1/2020).
Ridwan mengatakan alat-alat tersebut nantinya akan dipasang di daerah-daerah rawan banjir.
"Nantinya akan dipasang di Tegal Alur, Rawajati, Makasar, Jati Padang, Kedoya Selatan, dan Cililitan," katanya.
Pengeras suara atau toa tersebut nantinya akan menggunakan dana sebesar Rp 4 miliar yang berasal dari APBD 2020.
William Aditya Sarana Buka Suara
Sementara itu, politisi PSI lain yang juga anggota DPRD DKI, William Aditya Sarana meminta Pemprov untuk mengaktifkan kembali aplikasi Pantau Banjir.
William mengatakan hal tersebut lebih baik ketimbang melakukan pembelian Disaster Warning System (DWS).
Ia menilai, langkah yang dilakukan Pemprov DKI mengalami kemunduran dalam mencegah dan menanggulangi masalah banjir.
"Saya melihat sistem ini mirip seperti yang digunakan pada era Perang Dunia II. Seharusnya Jakarta bisa memiliki sistem peringatan yang lebih modern," ujar William.
"Fitur itu memberikan notifikasi ketika pintu air sudah dalam kondisi berbahaya serta berpotensi mengakibatkan banjir pada suatu wilayah," imbuhnya.
Ia menuturkan, pada versi terbaru aplikasi tersebut, sudah tak ada lagi fitur Siaga Banjir.
Padahal, fitur tersebut berguna untuk memberikan informasi mengenai kondisi pintu air.