Aturan Ganjil Genap Kendaraan Pribadi di Jakarta pada PSBB Transisi Dinilai Tak Perlu Ada
Analis mengkritisi rencana kebijakan aturan ganjil genap kendaraan pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi di Jakarta.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Analis Kebijakan Transportasi dan Ketua FAKTA Indonesia, Azas Tigor Nainggolan mengkritisi rencana kebijakan aturan ganjil genap kendaraan pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi di Jakarta.
Diketahui kebijakan ganjil genap bahkan direncanakan berlaku tidak hanya untuk mobil, tetapi juga sepeda motor.
Ketentuan itu tercantum dalam Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2020 tentang PSBB pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif yang telah diteken Anies.
"Pengendalian moda transportasi sesuai dengan tahapan masa transisi kendaraan bermotor pribadi berupa sepeda motor dan mobil beroperasi dengan prinsip ganjil genap pada kawasan pengendalian lalu lintas," bunyi Pasal 17 Pergub tersebut.
Tigor menyebut ada ketidaksusaian kebijakan ganjil genap dengan tujuan PSBB Transisi.
"Kebijakan ganjil genap adalah upaya untuk mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi agar masyarakat berpindah menggunakan transportasi umum dan mengurangi kemacetan di jalan raya."
"Sementara kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masa transisi adalah upaya mengendalikan atau menangani penyebaran Covid 19 agar masyarakat hidup sehat dan produktif, katanya," ungkap Tigor kepada Tribunnews melalui keterangan tertulis, Senin (8/6/2020).
Baca: Perubahan Kebijakan Ganjil Genap DKI Selama Pandemi Covid-19, Kini Akan Berlaku untuk Mobil & Motor
Selama masa PSBB Transisi ini juga diatur kapasitas layanan transportasi atau angkutan umum massal dikurangi hingga 50 persen.
"Jika pada masa PSBB Transisi ini diterapkan sistem ganjil genap terhadap kendaraan pribadi maka masyarakat ditekan tidak menggunakan kendaraan pribadi mobil maupun sepeda motor dan didorong berpindah ke angkutan umum massal," ungkap Tigor.
Tigor pun menyangsikan kapasitas 50 persen angkutan umum yang diatur dalam kebijakan tersebut.
"Tetapi selama PSBB Transisi layanan angkutan umum massal hanya 50 persen, apakah ini akan aman dan dapat menampung berpindahan masyarakat dari pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum massal di Jakarta?" ungkapnya.
Tigor menilai, pertanyaan dan perhitungan antara perpindahan jumlah masyarakat ke layanan angkutan umum massal ini harus benar-benar diantisipasi.
"Ada ketidak sesuaian antara kebijakan ganjil genap dalam kebijakan PSBB Transisi di Jakarta," ungkapnya.
Kebijakan pertama, menekan dan mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi dan masyarakat didorong pindah gunakan angkutan umum massal.