Cerita Parman Terpaksa Jadi Pemulung Setelah Di-PHK di Tempat Kerja
Kondisi tubuh yang tak sebugar dulu membuat Parman bingung ingin melamar kerja sebagai apa.
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak miliki biaya, Parman (61) mengatakan diberikan tongkat oleh warga ketika mencari barang bekas.
Parman merupakan bapak satu anak asal Demak, Jawa Tengah yang berprofesi sebagai pemulung.
Terhitung sudah lima tahun belakangan dirinya berprofesi seperti itu.
Hal ini imbas bangkrutnya warung makan tempatnya bekerja.
"Pertama merantau itu karena diajak tetangga. Katanya ada kerjaan cuci piring di Jakarta. Saya ikut dan bawa keluarga ke sini," katanya kepada TribunJakarta.com, Selasa (7/7/2020).
Baca: Terlilit Utang Karena Jadi Korban PHK, Remaja di Depok Nekat Merampok Driver Taksi Online
Baca: Pengusaha Siap Minimalisir PHK di Tengah Pandemi Covid-19
Sayangnya pekerjaan tersebut tak bertahan lama akibat menjamurnya rumah makan.
Tak bisa bertahan di tengah persaingan usaha, rumah makan tempatnya bekerja mengalami kebangkrutan dan ia di PHK.
Kondisi tubuh yang tak sebugar dulu membuat Parman bingung ingin melamar kerja sebagai apa.
Apalagi, ijazah dan keahliannya terbatas.
Atas usul dari anak semata wayangnya, Dede Suhendar (19) ia pun bekerja sebagai pemulung.
"Anak saya berhenti sekolah karena enggak ada biaya. Ya sudah dari situ saya dan dia kerja jadi pemulung. Saya sore sampai magrib, dia magrib sampai tengah malam," ungkapnya.
Namun, tiga tahun belakangan kondisi kesehatan Parman semakin mengkhawatirkan.
Ia mengalami pengapuran dan membuat langkahnya tertatih.
"Saya jalan biasa sudah susah. 3 tahun lalu akhirnya, anak saya buat alat seadanya buat nopang tubuh saya pas jalan. Jadi tongkatnya dibuat pakai kursi," jelasnya.
Setelah berlangsung sekira dua tahun, tepat di tahun lalu ia mendapatkan tongkat dari salah satu warga.
"Mungkin dia juga sering lihat dan kasian sama saya. Akhirnya dia panggil saya" jelas Parman.
"Mau enggak itu pakai tongkat. Belajar aja dulu pelan-pelan pakai tongkat," ucap Parman menirukan suara pemberi tongkat.
Akhirnya ia pun belajar menggunakan tongkat dengan hati yang riang.
Setelah dua minggu akhirnya Parman lancar menggunakan tongkat.
"Sejak saat itu saya jadi pakai tongkat dan berterima kasih banyak sama orang yang sudah bantu saya itu," jelasnya.
Ingin sekolahkan anak
Pendidikan merupakan hal yang penting. Hal itu juga diungkapkan oleh Parman.
Secara sadar, Parman mengaku menyesal karena tak bisa menyekolahkan Dede hingga lulus Sekolah Menengah Atas (SMA).
Saat ini, ia hanya berharap Dede bisa lanjut sekolah lagi.
"Iya pinginnya anak saya bisa sekolah. Dia kan berhenti sekolah itu karena sayanya enggak ada biaya," katanya.
Kendati begitu, ia mengaku saat ini terbentrok biaya.
Pasalnya, sehari-hari ia dan Dede hanya mendapatkan pemasukan sebesar Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu perharinya.
"Cuma balik lagi ke biaya. Kalau digabung pendapatan saya ya segitu. Cuma kan itu masih kotor. Sekalipun ada yang kasih uang pasti disimpan untuk bayar kontrakan," jelasnya.
Selain itu, Parman mengatakan selama menjadi pemulung ia selalu memakai sistem setor.
Hal ini lantaran anaknya meminjam gerobak milik bosnya.
Ya, gerobak ini digunakan anaknya untuk membawa barang yang mereka kumpulkan ke pengepul.
"Kalau pakai karung kan berat ya. Jadi saya pinjam gerobak. Jadi pas setoran dikurangi harganya aja. Misalnya sekilo botol dihargai Rp 4 ribu, karena pakai gerobak jadi sekilonya Rp 2.500," jelasnya.
Tanpa banyak mengeluh, Parman mengikhlaskan dan mensyukuri apa yang dijalaninya.
"Alhamdulillah masih ada orang baik. Jadi selama ini dihargai segitu perkilonya masih cukup untuk makan dan bayar kontrakan. Yang penting kitanya enggak malu, selagi masih usaha dan enggak ngemis saya semangat cari uang," tandasnya.