Soal Ojol Tuntut Status Pekerjaan Formal, Pengamat: Justru Sulit Miliki Fleksibilitas dalam Bekerja
Tuntutan ini dikhawatirkan justru berdampak pada konsep pekerja gig atau orang yang bekerja dengan jangka waktu tertentu atau berdasarkan proyek.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para pengemudi ojek online (ojol) menuntut status pekerjaan formal.
Tuntutan ini dikhawatirkan justru berdampak pada konsep pekerja gig atau orang yang bekerja dengan jangka waktu tertentu atau berdasarkan proyek (on demand).
Ketika status pengemudi ojol menjadi formal, maka sama saja menjadi pengemudi pada perusahaan transportasi umum.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan, dengan diformalkan dan memiliki upah tetap, maka aplikator atau perusahaan berhak memberikan target-target tertentu kepada pekerjanya. Seperti target jumlah penumpang, durasi jam kerja, jam masuk maupun jam pulang.
Sehingga Ketika sudah menjadi formal, pengemudi wajib mengikuti aturan main perusahaan.
“Ketika statusnya pekerja, maka bentuk kontraknya bukan sebagai pekerja gig lagi. Mereka akan kehilangan fleksibilitas pekerjaan dan sebagainya,” kata Nailul Huda, Kamis (19/9/2024).
Hal senada juga diungkap pakar hukum tata negara dari Universitas Brawijaya, Budi Santoso. Menurut Budi, jika status pengemudi ojol di formalkan, maka para pengemudi ojol harus siap dengan berbagai konsekuensinya.
Tidak hanya soal fleksibilitas waktu kerja, konsekuensi PHK juga bisa terjadi jika target tidak tercapai. Begitu pun ketika bisnis perusahaan sedang tidak baik sehingga potensi pengurangan tenaga kerja dapat terjadi.
“Sudah ada platform yang menerapkan konsep menjadi pekerja formal seperti itu, di perusahaan kurir atau pengantaran barang. Dan belum lama ini mereka melakukan efisiensi dan mengurangi jumlah SDM karena bisnisnya sedang turun,” kata Budi.
Di tengah situasi ekonomi saat ini yang sedang lesu, penurunan jumlah kelas menengah, dan ditambah dengan maraknya PHK di sejumlah perusahaan membuat pilihan pekerjaan semakin terbatas. Dalam situasi seperti ini, menekuni pekerjaan gig atau ojol menjadi salah satu opsi dalam memperoleh pendapatan.
Seperti pada saat pandemi Covid-19, dimana banyak karyawan yang dirumahkan dan memilih menjadi pengemudi ojol.
Sementara jika status ojol diformalkan, orang yang mengalami PHK dan ingin menjadi pengemudi ojol untuk sementara waktu, tentu tidak akan mudah seperti sebelumnya.
Sebab aplikator sebagai perusahaan pemberi kerja pasti akan menyaring dengan meningkatkan persyaratan dalam merekrut pekerjanya. Misalnya saja dari sisi usia pekerja maksimal 30 tahun.
Oleh karenanya menurut Budi, skema kemitraan seperti yang ada saat ini sudah lebih baik ketimbang menuntut status yang lebih terikat. Apalagi, ojol sebagai pekerja gig seharusnya memiliki waktu yang fleksibel dalam mengatur jam kerja.
“Sehingga besar kemungkinan akan banyak ojol yang tidak masuk kriteria oleh aplikator. Sementara dengan usia tersebut, mereka juga akan kesulitan mencari pekerjaan di sektor atau perusahaan lain,” jelas Budi.