Di Labschool, Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Bandingkan Google dan Guru
Bertempat di Gedung Labschool, Rawamangun, Jakarta Timur, 8 Maret 2016, Wakil Ketua MPR Oesman Sapta mensosialisasikan 4 Pilar MPR kepada ratusan sisw
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bertempat di Gedung Labschool, Rawamangun, Jakarta Timur, 8 Maret 2016, Wakil Ketua MPR Oesman Sapta mensosialisasikan 4 Pilar MPR kepada ratusan siswa.
Dikarenakan objek sosialisasi 4 Pilar adalah para pelajar maka Oesman Sapta menggunakan metode yang lebih cair.
Di depan ratusan pelajar Oesman Sapta merasa senang bisa memberi sosialisasi di Labschool.
"Di sini saya menemukan banyak kelebihan," ujarnya.
Dalam kesempatan itu Oesman Sapta mengajukan beberapa pertanyaan kepada siswa peserta sosialisasi.
Pertanyaan yang diajukan adalah apakah Pancasila sebagai dasar negara, UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi, NKRI sebagai sebagai bentuk negara, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa dan negara?
Semua pertanyaan itu dijawab secara serempak seluruh siswa dengan mengatakan.
"betul."
Selanjutnya Oesman Sapta menceritakan pengalaman saat sekolah.
Bagi Oesman kecerdasan merupakan suatu yang penting untuk dimiliki para pelajar.
Diharapkan para pelajar jangan sampai terlibat narkoba.
"Kita semua di sini antinarkoba," tegas Oesman Sapta.
Bagi Oesman Sapta kenakalan yang terjadi harus menjadi perhatian guru.
Diharapkan guru dan murid saling menghormati.
Diakui Oesman Sapta saat ini terjadi degradasi nilai-nilai kebangsaan.
Salah satu bukti lunturnya nilai-nilai kebangsaan adalah terjadinya tawuran antar pelajar yang terjadi di manapun.
Lebih lanjut dipaparkannya, saat ini kita berada dalam abad dunia teknologi di mana dengan hanya membawa handphone kita bisa mengetahui isi dunia.
Dulu murid menanyakan semua hal kepada guru, sekarang murid bisa menanyakan semua hal dengan melihat google.
Menurut Oesman Sapta, google bisa memberi rujukan baik bersifat positif maupun negatif.
Hal demikian diakui Oesman Sapta dalam beberapa hal mengkawatirkan.
Dikatakan jika guru selalu memberi rujukan yang positif namun tidak dengan google.
Dikatakan di google akan memberi jawaban semua yang diinginkan.
Dicontohkan di google tidak hanya memberi tahu siapa penemu bom namun bagaimana merakit bom juga bisa diunduh.
Hal inilah yang bisa memicu orang bisa melakukan tindakan yang berbahaya.
Hal demikian tentu lain dengan guru yang tidak akan memberi sesuatu hal yang membahayakan.
"Guru melarang murid menjadi teroris," tegasnya.
Disampaikan Oesman Sapta bahwa kita harus bijak dan arif dalam menyikapi perkembangan teknologi.
"Efek atas teknologi harus disikapi dengan baik," ucapnya.
Tidak hanya soal teknologi yang dikritisi Oesman Sapta, masalah masuknya budaya barat yang belum tentu cocok dengan kita pun diingatkan kepada para siswa.
Oesman Sapta mengutip pendapat seorang duta besar Indonesia bahwa kita harus merubah pemikiran soal budaya.
"Jangan membawa budaya lama sebab orang tak mengenal budaya lama. sekarang orang mengenal budaya baru," paparnya.
Ia mengartikan tuntutan dunia internasional adalah sesuatu budaya yang maju ke depan dan kecanggihan teknologinya menjangkau ke depan.
"Ini yang harus dicamkan anak-anak labschool akan arti penting teknologi," kata Oesman Sapta.
Menurutnya pendidikan itu bukan hanya feeling dan insting tapi juga rasio.
Dirinya bangga dengan labschool, sekolah yang modern yang komunikasi antara murid dan guru hidup.