Tindakan Kriminal Kepada Tokoh Agama Harus Diproses Secara Hukum
Karenanya Polisi harus menyatakan ke publik bahwa tindakan kriminal seperti itu dipastikan akan diusut secara adil.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid, menyampaikan rasa prihatin atas terjadinya tindakan kriminal dan persekusi kepada Imam Masjid dan Ulama, sebagaimana dialami oleh Imam Masjid di Pekanbaru dan Habib Rizieq Syihab.
Hidayat meminta Kepolisian Republik Indonesia agar menegakkan prinsip Indonesia sebagai Negara Hukum yang adil, dengan segera mengusut dan memproses secara hukum pelaku penusukan imam masjid di Pekanbaru dan oknum-oknum pelaku ujaran kebencian serta pembakaran, juga perobekan baliho Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) di depan komplek parlemen Indonesia, yang sudah dilaporkan itu.
Menurut Hidayat, penusukan imam masjid di Pekanbaru sudah masuk ke dalam kategori penganiayaan yang terdapat dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Anehnya, ada upaya untuk kembali menyebutkan bahwa pelaku penusukan mengalami gangguan jiwa, seperti yang berulangkali terjadi sebelumnya. Menurutnya, hal itu mengakibatkan kasus serupa terulang lagi dan lagi.
“Beberapa kali penganiayaan terhadap ulama, pelakunya selalu disebut mengalami gangguan jiwa. Sehingga tidak dikenakan sanksi hukum yang menjerakan dan tidak menimbulkan efek jera. Agar memulihkan kepercayaan Umat dan masyarakat kepada kebenaran penegakan hukum di Indonesia, dan agar kasus persekusi seperti ini tak terulang lagi, seharusnya kepolisian membuka data dan bukti secara transparan bahwa pelakunya benar-benar mengalami gangguan jiwa. Atau pelakunya hanya pura-pura saja, sehingga bisa dijerat dengan pasal yang memberatkan, dan menjadi warning supaya kasus serupa tak terulang lagi, kapanpun dan dimana pun,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (29/7).
Selanjutnya, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menambahkan untuk kasus ujaran kebencian dan upaya pembakaran serta perobekan baliho bergambar Habib Rizieq, pihak kepolisian juga harusnya menunjukan kepada masyarakat bahwa polisi bertindak profesional dan berlaku adil. Karenanya Polisi harus menyatakan ke publik bahwa tindakan kriminal seperti itu dipastikan akan diusut secara adil. Apalagi, beberapa pihak juga melaporkan ke pihak kepolisian terkait tindakan yang telah menghina dan menyebarkan kebencian terhadap Habib Rizieq sebagai ulama yang dihormati dan memiliki pengikut yang sangat banyak.
“Sebagai bentuk nyata adanya penegakan hukum yang adil, dan untuk memberikan kepercayaan kepada Umat terhadap penegakan hukum secara adil, maka Polisi harusnya bergerak secara cepat, profesional dan adil, seperti saat menangani laporan terkait pembakaran bendera PDIP beberapa waktu lalu atau ketika mengusut pelemparan bom molotov ke kantor PDIP di Bogor. Setiap laporan masyarakat dari kelompok apapun harus ditangani dengan prosedur yang sama. Jangan tebang pilih. Itu salah satu makna menegakkan keadilan yang tertuang dalam Pancasila. Dan itu juga untuk menghentikan perasaan Umat yang merasa selalu diberlakukan tidak adil atau malah dianaktirikan oleh Negara, yang bisa berdampak sangat luas terkait pemaknaan dan pelaksanaan sila ke 3 dari Pancasila: Persatuan Indonesia,” ujarnya.
Ia menyebutkan, ujaran kebencian serta tindakan menginjak-injak gambar, membakar dan merobek baliho bergambar Habib Rizieq secara akumulatif sudah memenuhi kualifikasi hukuman dalam Pasal 156 KUHP. Ketentuan itu berbunyi, ‘Barangsiapa di muka umum menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.’
“Dua peristiwa itu menunjukan bahwa tindakan kriminal, penganiayaan, penghinaan dan persekusi terhadap ulama atau tokoh agama masih berlangsung di Indonesia negara Pancasila yang sila pertamanya adalah : KeTuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya, perlu diusut tuntas, diberikan sanksi yang memberikan efek jera, supaya tidak terulang lagi di waktu yang akan datang, agar NKRI dan Pancasilanya tetap terjaga,” pungkasnya.