HNW: Ormas dan Partai Islam Berjasa Menyelamatkan NKRI
Sebelum Indonesia merdeka, Nusantara terdiri dari berbagai kerajaan. Dan setelah merdeka, kita memilih negara kesatuan republik Indonesia.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Majelis Permusawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid menegaskan para Ulama yang terhimpun dalam Ormas, (seperti, Muhammadiyah, NU, Persis, dan PUI) dan Partai Islam (seperti Syarikat Islam, Penyadar, PII atau Partai Masyumi), ikut berjasa dalam menyelamatkan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perjuangan itu diharapkan menjadi teladan dan diambil sebagai pelajaran oleh Umat Islam di Indonesia dalam menjaga serta mengamalkan Pancasila dan NKRI.
Mereka terlibat dalam pembahasan dan penerimaan Pacasila sebagai Dasar dan ideologi negara. Serta ikut menetapkan bentuk negara kesatuan lah yang cocok dengan Indonesia. HNW sangat mengapresiasi kenegarawanan mereka, dan mendukung hasil ijtihad para Ulama yang aktif sejak di BPUPK, Panitia 9, PPKI, KNIP hingga Parlemen RIS. Dan karenanya berharap ideologi negara Pancasila, serta bentuk negara kesatuan ini harus terus dipertahankan dan diperjuangkan.
“Sebelum Indonesia merdeka, Nusantara terdiri dari berbagai kerajaan. Dan setelah merdeka, kita memilih negara kesatuan republik Indonesia. Karena negara federal, cocoknya digunakan untuk negara daratan seperti Amerika Serikat. Sedangkan, negara kepulauan seperti Indonesia, sangat tidak cocok dengan bentuk negara federal atau serikat, karena akan mudah dipecah belah,” kata Hidayat secara daring, pada acara sosialisasi Empat Pilar MPR dengan para Ulama dan tokoh masyarakat di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Belum lama setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kata Hidayat Belanda mendompleng tentara Sekutu, ingin kembali menjajah Indonesia. Tetapi KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah mengumpulkan para Ulama se-JawaTimur dan Madura, dan pada 22 Oktober 1945 mengobarkan fatwa-resolusi Jihad bela Republik Indonesia gagalkan manuver Belanda.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ini menuturkan pilihan bentuk negara kesatuan, yang ditetapkan melalui UUD 45, Bab I Pasal 1 ayat (1) pada 18 Agustus 1945, dipertahankan lewat perjuangan yang panjang. “Belanda tidak suka kita mengadopsi bentuk negara kesatuan. Makanya, direcoki terus, sejak dari Perjanjian Linggarjati (15 November 1946), Belanda hanya mengakui secara de facto kedaulatan Republik Indonesia hanya pada tiga pulau, yakni Sumatera, Jawa dan Madura,” ujarnya.
Bahkan, eksistensi NKRI sempat kembali terancam dengan agresi militer Belanda pada 1948. Sehingga tampillah tokoh Partai Islam Masyumi Sjafruddin Prawiranegara yang menyematkan NKRI dengan membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 19 Desember 1948, setelah sejumlah pemimpin bangsa di Yogyakarta, ditangkap oleh agresor Belanda.
Tidak berhenti di situ, Belanda melanjutkan tindakannya untuk mengganggu kedaulatan NKRI, puncaknya dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), 27 Desember 1949, yang salah satu keputusannya mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS). “Belanda kembali melakukan penetrasi melalui KMB. Mereka mengakui Indonesia merdeka, tetapi dalam bentuk Republik Indonesia Serikat, bukan NKRI. Indonesia dibelah menjadi 16 negara serikat,” kata Hidayat menambahkan
Namun, manuver itu kata Hidayat bisa kembali digagalkan oleh tokoh Partai Masyumi, M Natsir. Sebagai Partai yang menolak KMB, M Natsir bertemu dengan banyak tokoh daerah juga dengan pimpinan fraksi-fraksi di DPR RIS, dari yang paling kanan hingga kiri, termasuk dengan Ketua Partai Katolik dan Kristen. Kemudian M Natsir berpidato pada 3 April 1950, di depan sidang DPR RIS, agar Indonesia kembali menjadi NKRI.
“Melalui pidato yang dikenal dengan mosi integral itu, Pak Natsir mengoreksi RIS, dan agar Indonesia kembali ke cita-cita awal Indonesia merdeka, yakni NKRI. Beliau menyampaikan hal itu dari aspirasi rakyat, dan berhasil mengkomunikasikan dengan partai lain di parlemen, sehingga semua setuju untuk kembali ke negara kesatuan,” jelasnya.
HNW berharap perjalanan bangsa, itu bisa dipahami oleh para tokoh masyarakat, ulama, dan kyai, bahwa Pancasila dan NKRI ini adalah warisan dan hasil perjuangan, jihad, ijtihad, mujahadah, hadiah dan tadhiyah dari Umat Islam baik yang terhimpun dalam Ormas maupun Orpol Islam bersama dengan Pejuang-Pejuang Bangsa lainnya.
Karena itu sudah sewajarnya umat Islam di Indonesia ikut menyelamatkan Pancasila dan NKRI yang sebelumnya diperjuangkan oleh para Ulama dari Ormas dan Partai Islam tersebut. Pada sisi lain, Umat Islam di Indonesia jangan terus dipojokan sebagai anti Pancasila maupun anti NKRI, karena itu tidak sesuai dengan fakta sejarah yang sudah tercatat. “Jangan ada Indonesiaphobia, tapi jangan juga Islamophobia. Itulah pentingnya Jas Merah (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah) dan Jas Hijau (Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama),” ujarnya.
“Sejarah tersebut perlu dipahami agar kita semakin mengenal, menyayangi, dan mencintai NKRI ini, dan berani mengkoreksi apabila ada tindakan dari siapapun yang menyimpang dari kesepakatan dan tujuan kita bernegara, dengan Pancasila dan NKRInya”pungkasnya.