Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Wacana Presiden Tiga Periode Bakal Ubah Konstelasi Politik Nasional

Ia mengatakan jika nanti ada amandemen UUD 1945 yang mengubah perpanjangan masa jabatan presiden maka hal tersebut akan mengubah konstelasi politik

Editor: Content Writer
zoom-in Wacana Presiden Tiga Periode Bakal Ubah Konstelasi Politik Nasional
MPR RI
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid, Minggu (23/8/2020). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wacana adanya amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dengan mengubah periodesasi masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode belakangan ramai diperbincangkan di ruang publik. Termasuk kemungkinan bukan penambahan periodesasi jabatan presiden, namun perpanjangan masa jabatan presiden tidak hanya lima tahun, namun delapan tahun.

Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengakui adanya wacana tersebut di ruang publik. Namun, tokoh yang akrab disapa Gus Jazil ini menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada pengajuan resmi ke MPR soal wacana tersebut.

”Ini santer juga berbagai isu yang akibat pandemi ini sudah muncul isu amandemen UUD. Terus terang saya sampaikan sampai hari ini, di MPR yang sedang dikaji hanya soal memasukkan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara). Kalau soal usulan perpanjangan masa jabatan presiden belum ada secara resmi,” ujar Gus Jazil saat menjadi nara sumber dalam acara Ngaji Kebangsaan dengan tema ”Membaca Aspirasi Warga Nahdliyin dan Nasionalis pada Pilpres 2024” secara virtual yang digelar Forum Cendekiawan Muslim Muda (FCMM), Kamis (1/7/2021).

Dikatakan Gus Jazil, jika nantinya ada amandemen UUD 1945 yang mengubah periodesasi atau perpanjangan masa jabatan presiden maka hal tersebut akan mengubah konstelasi perpolitikan nasional.

”Kalau itu muncul maka Pilpres 2024 beda cara bacanya karena Pak Jokowi bisa maju lagi. Mudah-mudahan konstitusi tidak ada perubahan terkait masa jabatan presiden sebab itu luar biasa dampak, efeknya terhadap partai politik untuk menyongsong Pilpres 2024,” katanya.

Namun, karena sampai hari ini belum ada pengajuan secara resmi ke MPR, Gus Jazil menegaskan bahwa secara konstitusi, Jokowi tidak bisa maju lagi sehingga semua orang yang secara konstitusi memenuhi syarat menjadi calon presiden atau calon wakil presiden, memiliki kans dan terbuka untuk maju dalam Pilpres 2024.

”Banyak tokoh yang punya hak konstitusional menjadi presiden. Siapa yang dianggap layak, ya mari kita cari bersama. Kalau kita di PKB terus terang kita juga memiliki Ketum Abdul Muhaimin Iskandar, panglima santri, tentu kami menimbang-nimbang, berfikir serius memohon masukan Forum Cendekiwan Muslim Muda apakah sudah waktunya maju atau ada saran-saran yang bisa kita terima,” kata Gus Jazil yang juga Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Berita Rekomendasi

Menurutnya, jika tidak ada perubahan konstitusi maka dipastikan Presiden kedepan bukan Jokowi sehingga koalisi partai politik atau gabungan partai politik bisa mengusungkan calonnya untuk menjadi presiden berikutnya.

”Hanya PDIP yang memiliki peluang mengusung sendiri, tapi kita tahu Indonesia yang majemuk ini, saya rasa PDIP tidak akan mengusung sendirian karena untuk mengatur bangsa sebesar ini kok sendirian,” katanya.

Gus Jazil mengatakan, karena nantinya pada Pilpres 2024 tidak ada calon incumbent maka partai politik memiliki tugas untuk mencari sosok yang mampu memberikan harapan baru untuk mengatasi keadaaan saat ini.

”Saya pun belum bisa membaca apakah 2024 pandemi sudah selesai. Sebab banyak yang mengatakan pandemi turun Juli ini, tapi justru meningkat. Pilpres 2024 akan dibayang-bayangi oleh dampak dari pandemi. Siapapun calon presidennya harus mampu mengatasi dampak pandemi, baik dampak kesehatan dan ekonomi,” katanya.

Terkait dengan isu politik aliran sesuai dengan tema yang dibahas dalam webinar tersebut, Gus Jazil mengatakan bahwa pasca Reformasi, politik aliran mulai kendor. Saat ini tantangan yang berat dan bisa menjadi benalu demokrasi adalah praktik politik transaksional.

”Dulu zaman Bung Karno kuat politik ideologi, politik aliran. Hari ini yang popular adalah politik transaksional, itu yang popular dan itu penyakit,” ungkapnya.

Dikatakan Gus Jazil, sejak 2015 silam, Negara sudah memutuskan adanya Hari Santri Nasional (HSN) sehingga tidak perlu ada lagi pemisahan antara kaum santri dengan nasionalis. ”Nahdliyin itu pasti nasionalis. Santri itu pasti nasionalis karena kalau santri tidak nasionalis itu berarti bukan nahdliyin.
Dimana-mana digaungkan NKRI harga mati, Pancasila Jaya,” katanya.

Gus Jazil justru berharap melalui diskusi seperti yang dilakukan FCMM, bisa memberikan masukan untuk mematang format dan harapan ke depan. ”Kalau PDIP sudah pasang gambar Bu Puan dimana-mana, itu kita hormati sebagai bagian pendidikan politik karena seorang figur memang harus muncul untuk menyampaikan visi misi. Tidak perlu malu-malu karena itu memang cara berpolitik yang ada,” katanya.

Menurutnya, pandemi Covid-19 tidak akan menghalangi untuk mencari cocok pemimpin yang terbaik.”Pada hari ini belum kelihatan sosoknya. Kalau puasa gitu hilal belum kelihatan, jadi belum bisa dibaca siapa sosok capres. Tapi setidaknya kita bisa membuat harapan ciri-ciri siapa yang paling pas. Saat ini sosoknya siapa masih kabur,” tutur Gus Jazil. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas