Ingatkan Soal Utang, Wakil Ketua MPR: Belajar dari Kasus Amerika Serikat
Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan kembali mengingatkan Pemerintah untuk mengurangi penggunaan utang luar negeri sebagai pembiayaan pengelolaan negara.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan kembali mengingatkan Pemerintah untuk mengurangi penggunaan utang luar negeri sebagai pembiayaan pengelolaan negara. Pasalnya, utang lndonesia kini semakin bertumpuk dan berpotensi gagal bayar serta dapat membahayakan keuangan nasional.
Syarief Hasan mendorong Pemerintah untuk belajar dari Amerika Serikat yang tengah terseok-seok karena utang. Memang, Amerika Serikat kini berpotensi krisis dikarenakan utang Amerika Serikat yang membludak dan terancam gagal bayar.
Apalagi, BPK RI juga telah mengingatkan potensi gagal bayar utang Indonesia. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menyebut, utang Indonesia mencapai Rp6.626,4 Triliun atau mencapai 59,70% dari aset negara. Persentase ini melebihi rekomendasi dari IMF sebesar 25-35%, bahkan BPK RI mengingatkan potensi gagal bayar utang Indonesia.
Syarief Hasan juga menyebut, Partai Demokrat konsisten mengingatkan Pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan untuk mengurangi utang.
“Setahun sebelumnya, rasio utang masih 37%, lalu merangkak 38,5%, dan kini telah mencapai 41,64%. Kondisi ini menunjukkan pengelolaan utang Indonesia sangat buruk. Kami sejak awal selalu mengingatkan, namun selalu dianggap aman, padahal kita berpotensi gagal bayar juga,” ungkap Syarief Hasan.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini menyebutkan, pengelolaan keuangan negara pada Kuartal II-2021 semakin memprihatikan.
“Dari berbagai kajian akademis menunjukkan bahwa persentase utang Indonesia terhadap aset negara kini telah mencapai 59,70%. Persentase utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto juga hampir mencapai 42% yang tentu sangat berbahaya bagi Indonesia dan menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak,” tutur Syarief Hasan.
Politisi Senior Partai Demokrat ini pun mengingatkan Pemerintah untuk memperhatikan rekomendasi IMF dan BPK sebagai lembaga yang kompeten dalam urusan keuangan.
"Indikator kerentanan utang tahun 2020 Indonesia berasal dari hasil kajian BPK yang menyebut melampaui batas rekomendasi International Monetary Fund (IMF) dan International Debt Relief (IDR). Selama ini, kita selalu menjadikan Amerika Serikat sebagai patokan, tapi mereka akhirnya colaps juga," ungkap Syarief Hasan.
Ia pun mendorong Pemerintah untuk melihat sektor yang lebih prioritas. "Selama ini, pembangunan infrastruktur yang belum krusial terus masif dilakukan dan menyedot banyak anggaran negara. Padahal, Pemerintah harusnya lebih memprioritaskan penumbuhan dan penguatan ekonomi nasional sehingga mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri," tutup Syarief Hasan.(*)