Hadiri Kuliah Umum Unhas, Ahmad Basarah: Generasi Milenial Harus Kenali Rumus Kolonial
Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengingatkan agar generasi milenial mengenali rumus kolonial
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengingatkan agar generasi milenial mengenali rumus kolonial. Rumus negara-negara Barat, terutama Belanda untuk bisa menjajah Nusantara dalam waktu yang sangat lama, yakni melakukan politik adu domba, dan rumus itu akan terus diterapkan oleh pihak-pihak yang tak ingin Indonesia terus bersatu sebagai bangsa besar.
“Ada lima bangsa asing di dunia yang pernah menjajah bangsa kita, Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Jepang. Dari lima negara itu, Belanda mempelajari sosiologi nenek moyang kita sebagai bangsa yang majemuk, khususnya dalam aspek agama. Perbedaan inilah yang oleh Belanda dieksploitasi untuk melenyapkan jiwa persatuan di antara anak bangsa,’’ kata Ahmad Basarah saat menjadi pembicara di Kuliah Umum Universitas Hasanuddin, Makassar, bertema "Memperkokoh Kesatuan Republik Indonesia" secara virtual, Selasa (30/11/2021).
Menurut Ketua Fraksi PDI Perjuangan itu, kemerdekaan yang sekarang dirasakan seluruh rakyat Indonesia adalah proses perjuangan panjang yang dilakukan para pendiri bangsa, termasuk di dalamnya para pemuda, pelajar, juga mahasiswa. Mereka memiliki peran dalam meletakkan pondasi bangsa Indonesia lewat ikrar Sumpah Pemuda 93 tahun lalu.
‘’Ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi antitesis gerakan pecah belah Belanda. Belajar dari sejarah, generasi milenial seharusnya juga terus mencari antitesis baru untuk menghadapi rongrongan dan aksi-aksi yang ingin melemahkan persatuan nasional dan ideologi Pancasila,’’ tegas Ahmad Basarah.
Guna memperkokoh kesatuan Republik Indonesia, Dosen Universitas Islam Malang ini mencontohkan, dalam kondisi bangsa Indonesia sedang dipecah-belah oleh Belanda, muncul antitesis terhadap politik pecah belah Belanda dari kampus sekolah kedokteran Belanda, STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen).
Di kampus ini lahir Boedi Oetomo, organisasi yang didirikan para mahasiswa STOVIA, dan pada gilirannya menjadi pelopor lahirnya gerakan kemerdekaan berskup nasional.
“Setelah itu banyak berdiri organisasi kepemudaan semacam Jong Celebes, Serikat Dagang Islam, Muhammadiyah, juga Nahdlatul Ulama. Pemuda Indonesia saat itu menemukan jawaban dari politik pecah-belah Belanda. Dari situ mereka sadar, kekayaan alam negeri kita dikuras bangsa asing berabad-abad. Akhirnya sebuah rumusan pun ditemukan, yaitu persatuan,” kata Ahmad Basarah.
Ketua DPP PDI Perjuangan itu menambahkan, semangat persatuan menjelang Indonesia merdeka itu kemudian menghasilkan sejumlah ikrar lahirnya Indonesia sebagai sebuah bangsa, yang di dalamnya kaum muda mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia bertanah air satu tanah air Indonesia, dan berbahasa satu bahasa Indonesia, pada Oktober 1928 .
Hanya saja, saat itu Indonesia baru lahir sebagai sebuah bangsa, belum sebagai negara-bangsa (nation state) karena belum ada kepala pemerintahan atau presiden yang memimpin sebuah teritorial negara.
‘’Era teknologi informasi terus berkembang. Kita mengalami banjir informasi. Kondisi ini sangat mungkin membuat penghayatan generasi milenial terhadap konsep negara dan ideologi bangsa menjadi cair. Di sinilah generasi milenial ditantang untuk menemukan inovasi baru untuk memperkokoh persatuan nasional,’’ tegas Ahmad Basarah.
Menurut Dosen Universitas Muhammadiyah Malang itu, Proklamasi 17 Agustus 1945 menyatakan dan menyebabkan Indonesia lahir sebagai sebuah negara bangsa. Satu hari setelah proklamasi, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menghasilkan dua keputusan: pertama menetapkan Bung Karno dan Bung Hatta sebagia Presiden dan Wakil Presiden, dan kedua mengesahkan UUD 1945.
‘’Dua keputusan PPKI akhirnya menetapkan Indonesia lahir sebagai sebuah negara bangsa karena memiliki apa yang dibutuhkan, termasuk Pacasila sebagai dasar negara. Karena itu, menjadi kewajiban kita menjaga NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara. Jika dasar dan bentuk negara diubah, Indonesia pasti tidak akan menjadi negara kesatuan Republik Indonesia,” tutup Ahmad Basarah. (*)