HNW Desak Guru Pemerkosa 12 Santriwati Dihukum Terberat
Instrumen hukum pelaku kejahatan seksual terhadap anak sudah cukup memadai, sehingga tinggal keberanian nurani aparat penegak hukum untuk menegakannya
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid mendesak, terduga guru pemerkosa lebih dari 12 santriwati di bawah umur di Bandung, Jawa Barat, diberi hukuman berat. Sesuai ancaman hukuman maksimal pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Ini adalah kejahatan yang terkutuk, melanggar hukum Negara dan Agama. Karena itu sudah selayaknya pelaku dihukum dengan pemberatan. Apakah dengan hukum kebiri, atau hukuman pidana seumur hidup, bahkan hukuman pidana mati,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (10/12/2021).
HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid mengatakan, dasar hukum untuk menjatuhkan hukuman dengan pemberatan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Selain mengatur hukuman kebiri, aturan tersebut juga memuat hukuman pidana seumur hidup dan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menunjuk Pasal 81 UU yang mengesahkan Perpu Kebiri tersebut. Ketentuan itu berbunyi, “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, ganggungan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Sedangkan Pasal 76D berbunyi, “setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
“Salah satu syarat untuk menjatuhkan hukuman maksimal sudah terpenuhi, karena korbannya adalah anak-anak di bawah umur yang diduga lebih dari satu, yakni ada 12 malah ada yang menyebutkan 21 santriwati,” tukasnya.
Instrumen hukum pelaku kejahatan seksual terhadap anak sudah cukup memadai, sehingga tinggal keberanian nurani aparat penegak hukum untuk menegakannya seadil-adilnya.
“Kejahatan dan kekerasan seksual di dunia Pendidikan terus terjadi, dan korbannya adalah para perempuan. Sebelum Bandung, sudah ramai jadi perhatian publik soal kekerasan seksual terhadap Mahasiswi UNSRI, juga kejahatan dan kekerasan seksual pada Mahasiswi UNIBRAW. Agar timbulkan efek jera, dan maksimalkan perlindungan bagi Perempuan (Mahasiswi maupun Santriwati), pemberatan hukum ini perlu menjadi pertimbangan polisi, jaksa dan hakim yang akan mengadili dan memutus perkara yang sangat biadab dan menjadi perhatian publik ini,” ujarnya.
HNW mendukung Kementerian Agama (Kemenag) yang meninjau ulang izin operasional pesantren, bahkan hingga izinnya dicabut. Sekalipun disayangkan, keputusan itu baru diambil setelah kasusnya menjadi heboh di publik, dan korbannya berjatuhan sampai lebih dari 12 Santriwati.
Padahal peristiwa kejahatan seksual yang melanggar hukum Negara, Agama dan Tradisi/Marwah Pesantren itu sudah terjadi sejak tahun 2016. Ini harus diusut secara tuntas, mengapa bisa terjadi bukan sekali dua kali, tetapi terhadap lebih dari 12 korban. Dan dalam rentang waktu sampai 5 tahun.
“Selain itu semua, sangat penting pemenuhan hak para Santriwati dan perlindungan hukum untuk mereka. Agar para santriwati di pesantren tersebut, baik yang menjadi korban atau bukan, terus didampingi dan dibantu, untuk masa depan pendidikan dan keselamatan kehidupannya. Jangan sampai sudah jadi korban kejahatan seksual atau terimbas akibat terjadinya kejahatan seksual sekalipun bukan korban, pesantrennya ditutup, dan masa depan pun hilang. Kemensos dan Kemen PP dan PA bekerja sama dengan Pemda, penting turun tangan melaksanakan kewajiban Negara, lindungi anak-anak tersebut,” pungkasnya.(*)