HNW Dukung Menkopolhukam Agar Pemerintah dan DPR Sahkan RUU KUHP Mengisi Kekosongan Hukum Soal LGBT
Pengesahan terhadap RUU KUHP ini penting disegerakan untuk mengatasi maraknya kasus perilaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid, MA mendorong agar Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat segera mengesahkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi Undang-undang.
Pengesahan terhadap RUU KUHP ini penting disegerakan untuk mengatasi maraknya kasus perilaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
“Sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, bila ada kekosongan hukum seperti yang terkait dengan perilaku LGBT, agar segera diisi. Selain DPR, Pemerintah oleh UUD NRI 1945 juga diberi wewenang untuk membentuk undang-undang, maka wajarnya kedua lembaga negara itu segera mengambil langkah inisiatif untuk mengesahkan revisi RUU KUHP tersebut,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (19/5/2022).
HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid mengatakan, sudah sangat layak apabila KUHP yang merupakan warisan dari ‘Wetboek van Strafrecht’-nya Belanda segera disesuaikan dengan problem dan tuntutan kekinian dan kondisi masyarakat Indonesia pasca Reformasi.
“Dahulu mungkin LGBT tidak marak seperti sekarang, sehingga tidak diatur di dalam WvS yang kemudian menjadi KUHP. Dan dahulu WvS tersebut tidak mencerminkan kondisi bangsa Indonesia yang relijius dan menempatkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan dasar negaranya,” ujarnya.
Oleh karena itu, HNW menyambut baik sikap Menkopolhukam Mahfud MD yang secara tegas menyatakan setuju untuk melarang dan memberi sanksi atas perilaku LGBT melalui RUU KUHP.
“Apabila itu memang sikap pemerintah, maka harusnya segera ditindak lanjuti dengan mengesahkan RUU KUHP bersama DPR. Bahkan penting ambil inisiatif, sebagaimana Pemerintah sudah beberapa kali melakukan inisitif pembuatan UU. Seperti RUU Minerba, RUU KPK, RUU Cipta Kerja, serta RUU IKN. Karena sesuai ketentuan UUD NRI 1945, Pemerintah, selain DPR, adalah juga lembaga pembentuk UU,” tukasnya.
Pada periode lalu, RUU KUHP menurut HNW sudah hampir disahkan di DPR. Tetapi di ‘menit-menit’ terakhir saat DPR akan mengesahkan, harus ditunda atas perintah/permintaan Presiden Joko Widodo.
Alasannya adalah adanya gelombang demonstrasi mahasiswa yang menolak RUU tersebut. Padahal, demonstrasi tersebut ‘bercampur’ dengan demonstrasi atas RUU lain yang ditolak oleh mahasiswa, seperti RUU KPK, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Pertanahan.
“Sekalipun demikian, ketika itu RUU Minerba dan RUU KPK tetap disahkan, meski ditolak oleh publik. Berbagai RUU inisiatif Pemerintah juga ditolak oleh masyarakat bahkan oleh FPKS DPR RI, seperti RUU Cipta Kerja dan RUU Ibukota Negara, tetapi juga tetap disahkan. Karena itu bila ada komitmen yang kuat dari Pemerintah, sudah semestinya RUU KUHP juga bisa disahkan. Apalagi hajat terhadap diundangkannya RUU KUHP termasuk pengaturan hukum terkait masalah LGBT bisa diagendakan kembali untuk disahkan. Sekaligus sebagai pelengkap sesudah diundangkannya UU TPKS. Komitmen kuat Pemerintah akan memudahkan pengesahan RUU KUHP bersama dengan DPR. Untuk membuktikan Indonesia sebagai negara hukum bukan hukum rimba, dan bahwa negara melaksanakan kewajibannya melindungi seluruh Rakyat Indonesia termasuk dari dampak-dampak negatif LGBT,” jelasnya.
HNW meminta komitmen bersama pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU KUHP ini. Ia juga meluruskan informasi di masyarakat seakan-akan lembaga yang membentuk UU, itu hanya DPR. Padahal, UU baru bisa disetujui dan disahkan apabila mendapat persetujuan antara DPR dan Pemerintah. “Jadi, DPR dan Pemerintah memiliki tanggung jawab yang sama,” pungkasnya.(*)