Perpu Cipta Kerja, Wakil Ketua MPR: Kemunduran Demokrasi dan Melemahnya Institusi Negara
Syarief Hasan kritik terbitnya Perpu Cipta Kerja yang menunjukkan kekuasaan legislasi bergeser sangat jauh
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM- Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan mengkritik terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perpu Cipta Kerja) yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 30 Desember 2022.
Perpu ini menjadi kejutan di akhir tahun yang perlu mendapatkan atensi publik.
Setelah menyisakan banyak kontroversi dan demo besar-besaran dalam proses perumusannya, sampai kemudian adanya Putusan MK yang menegaskan UU Cipta Kerja adalah konstitusional bersyarat dan mesti diperbaiki 2 tahun setelah Putusan MK itu dibacakan.
Dengan keluarnya Perpu ini, semakin jelas menunjukkan bandul kekuasaaan legislasi bergeser sangat jauh menjadi sangat eksekutif tendensi (executive heavy).
Padahal, landasan dan amanat utama reformasi adalah menegakkan keseimbangan kekuasaan dalam menjalankan roda bernegara.
“Saya mengkritik keras terbitnya Perpu Cipta Kerja ini. Seharusnya pemerintah dan DPR melaksanakan amanat Putusan MK dengan konsisten dan konsekuen, merumuskan dan menyepakati kembali pembentukan UU Cipta Kerja yang dinyatakan konstitusional bersyarat.
Perbaikan ini dilaksanakan dalam jangka 2 tahun yang diputuskan MK. Bukan malah pemerintah mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perpu. Tidak ada hal-ihwal kegentingan memaksa yang menjadi dasar terbitnya Perpu,” ujar Syarief.
Menurut Syarief, konsekuensi negara hukum adalah segala rupa kebijakan harus mendasarkan adanya indikator yang terukur dan legalistik.
Jika merujuk pada Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang menetapkan tiga kategori kegentingan yang memaksa, yakni pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut memerlukan kepastian untuk diselesaikan.
Oleh karena itu, Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini meminta pemerintah untuk sangat berhati-hati dalam menerbitkan Perpu.
Subjektifitas presiden jangan diartikan bahwa presiden dapat dengan mudah menerbitkan Perpu tanpa landasan yang terukur dan dapat dipertanggung jawabkan.
Maka itu, jika mendasarkan kegentingan memaksa pada pandemi covid dan perang Rusia – Ukraina, maka alasan ini sangatlah lemah.
Kalau begitu, apakah berarti semua dinamika yang terjadi di tingkat global dapat menjadi landasan pembentukan Perpu?
Akan ada berapa banyak Perpu yang nantinya akan diterbitkan presiden jika cara berpikir ini dilazimkan? Apakah republik ini akan diatur hanya dengan Perpu nantinya?
“Saya menilai terbitnya Perpu Cipta Kerja adalah kemunduran negara demokrasi. Demokrasi menegaskan kedaulatan dan partisipasi publik seluas-luasnya dalam pembentukan legislasi.
Jika hak legislasi rakyat ini dicabut dengan mudahnya menerbitkan Perpu, ini tentu sebuah tragedi. Praktik seperti ini hanya akan mewartakan monopoli kekuasaan lembaga kepresidenan. Tragedi buruk dalam cara kita bernegara. Karena itu, saya meminta khususnya kepada DPR untuk sangat berhati-hati dalam menilai kelayakan Perpu ini menjadi undang-undang pada masa sidang berikutnya,” tutup Syarief.