Kisah Nestapa Kaum Buruh
Kisah kehidupan kaum buruh di
Editor: Johnson Simanjuntak
Salah satu yang bernasib demikian adalah Nurlia (35) seorang buruh yang bekerja di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Baru, Jakarta Utara. Profesi yang sudah ditekuninya selama 7 tahun tersebut hingga kini belum mampu merubah hidup Nurlia menjadi lebih baik. Dengan pendapatan Rp30.000 per hari, ia harus mampu mengatur keuangan keluarganya dan menyekolahkan ketiga anaknya hingga setinggi-tingginya.
"Pendapatan segitu harus pintar-pintar mengatur," ujar Nurlia saat ditemui di depan Kantor RRI, Jakarta, Sabtu (1/5/2010).
Tidak hanya itu, perjuangan hidup yang harus dijalani Nurlia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, istri dari seorang supir pribadi ini rela berhutang sana-sini demi tercukupinya kehidupan. Belum lagi dirinya harus mengongkosi sekolah ketiga anaknya yang masih duduk di sekolah dasar.
Lain lagi halnya dengan Murnayanti (33) seorang buruh di Tempat Pelelangan Ikan, Muara Baru, Jakarta Utara, ibu dua orang anak ini terkadang harus cek-cok dengan suaminya yang berprofesi sebagai supir.
"Kadang-kadang kita harus ngedesak suami, karena kalau ngatur sendiri repot dan pusing juga," lirihnya.
Suara lirih hati Nurlia dan Murnayanti mungkin hanya sekelumit cerita kaum buruh di negeri ini, masih banyak sebenarnya yang bernasib serupa dengan mereka berdua.
Melalui peringatan Hari Buruh ini, Nurlia dan Murnayanti berharap agar pemerintah mau memperhatikan nasib mereka dan jutaan buruh lainnya di Indonesia, dengan menghapus sistem kerja kontrak dan outsourcing serta mengangkat mereka menjadi karyawan tetap agar hak-hak mereka sebagai pekerja tidak terabaikan.
"Setiap hari buruh demo tapi nggak ada yang berubah, kita mau nasib kita diperhatikan, hapus kerja kontrak angkat kami jadi karyawan. Kalau seperti itu kan enak, ada Jamsostek, kalau anak sakit juga nggak pusing" tandas Murnayanti.