PPP Minta 1 Mei jadi Hari Libur Nasional
Fraksi Partai Persatuan Pembanguna (F PPP) melalui sekretarisnya Muchammad Romahurmuziy, meminta kepada pemerintah supaya tanggal 1 Mei dijadikan hari libur bagi buruh.
Penulis: Adi Suhendi
Editor: Widiyabuana Slay
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Fraksi Partai Persatuan Pembanguna (F PPP) melalui sekretarisnya Muchammad Romahurmuziy, meminta kepada pemerintah supaya tanggal 1 Mei dijadikan hari libur bagi buruh.
Satu di antara tujuh catatan F-PPP menyangkut peringatan Hari Buruh, fraksi berlambang Kakbah tersebut meminta kepada pemerintah agar tanggal 1 Mei dapat ditetapkan sebagai hari libur untuk buruh secara nasional dengan tidak mengurangi hak-hak normatifnya.
Sedangkan enam catatan F PPP lainnya terkait peringatan hari buruh dunia, dalam pers release-nya di antaranya meminta agar Dewan Pengupahan Nasional yang berfungsi untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Daerah dalam menetapkan upah minimum dan menerapkan sistem pengupahan, untuk melakukan survey tentang KHL (Kebutuhan Hidup Layak) di masing-masing daerah untuk dijadikan dasar penetapan besaran UMK, UMP, dan UMR.
"Pelaksanaan survey ini dapat ditumpangkan ke dalam sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS dari tanggal 1-31 Mei 2010," ujar Romahurmuziy dalam pers release-nya.
Selanjutnya, catatan F PPP agar pemerintah melakukan peninjauan kembali terhadap aturan dan perangkat pengupahan yang didalamnya menyangkut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.17 tahun 2005.
"Peninjauan ulang dimaksudkan untuk memasukkan ketentuan-ketentuan yang lebih berpihak kepada kesejahteraan buruh yang didasarkan atas standar kebutuhan hidup layak,"jelas Romy.
Kemudian mengingat distribusi buruh sebagian besar di sektor industri, pemerintah melalui instansi yang terkait agar koordinasi lintas sektoral antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi terus ditingkatkan dan menghasilkan output yang nyata.
"Cetak biru industri nasional yang berbasis pada penggunaan tenaga kerja domestik yang memasukkan target daya saing dan kompetensi serta kesejahteraan tenaga kerja dinilai mendesak untuk segera dilakukan,"katanya.
Menyikapi relatif banyaknya jumlah pengangguran terdidik dan masih relatif rendahnya kompetensi tenaga kerja (buruh) yang telah terserap di pasar kerja, FPPP menyarankan agar terdapat koordinasi antara Kementerian Pendidikan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Tenaga Kerja untuk melakukan sinkronisasi dalam menetapkan mutu, standarisasi, dan kompetensi tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Selanjutnya, mengkritisi pelaksanaan globalisasi yang memudahkan arus barang dan jasa antar negara, F-PPP meminta agar pemerintah memperketat pengawasan penggunaan tenaga kerja asing untuk melindungi tenaga kerja dalam negeri.
"Sudah saatnya pemerintah menuangkan ke dalam sebuah dekumen kebijakan bahwa untuk hal-hal yang dapat dikerjakan oleh tenaga kerja domestik tertutup untuk tenaga kerja asing,"ujarnya
F-PPP pun menilai bahwa kasus pemogokan buruh berdasarkan data dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2007 yang mencapai 150 kasus, melibatkan 135.297 pekerja, dan menghilangkan 1.161.413 jam kerja, sementara pada 2008 berdasarkan data sampai Bulan Februari 2008, terdapat 14 kasus pemogokan, melibatkan 17.875 tenaga kerja, dan menghilangkan 126.525 jam kerja, harus dicarikan solusi yang menguntungkan semua pihak.
"Untuk itu kelangsungan komunikasi Tripartit, yaitu Pemerintah, Perusahaan atau Pengusaha, dan Tenaga Kerja," pungkasnya.