DPR Terlalu Lembek Pada Timur
JALANNYA fit and proper test yang dilakukan oleh Komisi III DPR pada calon Kapolri Komjen Pol Timur Pradopo tak mampu memuaskan
Penulis: Vanroy Pakpahan
Editor: Prawira
JALANNYA fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) yang dilakukan oleh Komisi III DPR pada calon Kapolri Komjen Pol Timur Pradopo tak mampu memuaskan ekspetasi masyarakat luas. Saya menilai hampir tak jauh berbeda dengan fit and proper test yang pernah dilakukan Komisi III DPR sebelumnya kepada calon-calon kapolri pendahulu Timur.
Tak ada kejutan dan hampir tak ada sesuatu yang menarik. Tak ada juga perdebatan dan pertanyaan yang tegas dan menohok dari Komisi III DPR untuk Timur. Timur pun semakin membuat hambar suasana dengan jawaban-jawaban datar dan normatif menyikapi 26 pertanyaan para anggota dewan terhormat tersebut.
Fit and proper test terhadap Kepala Badan pemeliharaan keamanan (Kabaharkam) Polri pagi hingga malam hari itu hanyalah panggung kewajiban dewan memenuhi tuntutan Undang-undang. Tak ada pertanyaan dari satu orang pun anggota dewan apakah Timur akan berkomitmen untuk
melanjutkan tugas-tugas yang belum diselesaikan oleh Kapolri sebelumnya yaitu Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri sewaktu menjabat.
Tak ada juga desakan bagi Timur untuk berkomitmen melanjutkan "utang-utang" BHD itu. Bahkan tak ada pertanyaan seputar bagaimana nasib rekening gendut perwira Polri yang hingga kini sangat ditunggu publik penyelesaiannya secara transparan. Apakah Timur akan menyelesaikannya dengan membuka lagi penyelidikan kasus itu secara transparan? Tidak ada pertanyaan itu.
Tak juga ada yang menanyakan bagaimana kelanjutan nasib dua jenderal yang disebut-sebut mantan kabareskrim Polri Komjen Pol Susno Duadji terlibat dalam mafia hukum kasus Gayus Tambunan, yaitu Brigjen Pol Raja Erizman dan Brigjen Pol Edmon Ilyas. Hingga kini mereka seakan tak tersentuh hukum sama sekali meski Gayus dan beberapa saksi serta terdakwa lain dalam perhelatan sidang kasus Gayus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan silih berganti menguak keterlibatan keduanya.
Bagaimana kelanjutan penanganan pelanggaran kode etik profesi yang dianggap Polri dilakukan keduanya? Hingga kini, keduanya juga belum disidangkan sementara Kompol Arafat sudah dimeja hijaukan. Pun, demikian dengan bagaimana kelanjutan nasib Susno yang "meniup peluit" keterlibatan keduanya dan beberapa nama lain dalam kasus itu.
Memang Komisi III menanyakan komitmen Timur terkait penanganan kasus penganiayaan aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun dan penyerangan kantor Majalah Tempo yang hingga kini tak jelas nasib dan pangkal penanganannya. Dan Timur, seperti yang bersama dilihat dan didengar, telah berjanji untuk berkomitmen menyelesaikan penanganan kedua kasus itu. Bahkan dia menjadikan kedua kasus itu sebagai "utang" yang harus dibayarnya kepada masyarakat pecinta keadilan.
Namun itu masih tak cukup. Seharusnya Komisi III lebih fokus menanyakan bagaimana komitmen Timur terhadap penyelesaian kasus-kasus yang muncul dari internal kepolisian seperti dua jenderal yang diduga terlibat kasus Gayus. Seharusnya proses fit and proper test ini dijadikan forum anggota dewan untuk memintai komitmen Timur terhadap penyelesaian kasus-kasus itu.
Harapan tinggal harapan. Timur, sikap dan terutama jawaban-jawabannya pun tak seperti yang diharapkan masyarakat dari pagi hingga malam itu. Saat menjawab soal dugaan pelanggaran HAM yang dilakukannya dalam kasus Trisakti dan Semanggi dan sikapnya yang memilih mengacuhkan panggilan pemeriksaan Komnas HAM terkait dugaan pelanggara itu
contohnya.
Timur tak terbuka menjabarkan bagaimana sebenarnya posisi dirinya, yang waktu itu menjabat sebagai Kapolres Jakarta Barat, dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia itu. Meski menjawab, jika ketidakhadirannya memenuhi panggilan pemeriksaan Komnas HAM disebebkan oleh perintah atasan yang melarangnya memenuhi panggilan itu, Timur tak mengungkap siapa atasan yang memerintahkannya itu. Padahal itu yang paling penting dari sesi tanya-jawab hari itu.
Seharusnya dia buka-bukaan saja. Transparan saja. Memang itu (dugaan pelanggaran HAM Timur) masih bisa diperdebatkan. Karena dia kan waktu itu hanya Kapolres Jakarta Barat, dan waktu itu Polri ada dibawah TNI. Tapi seharusnya saat itu dijadikan Timur sebagai momentum untuk menyelesaikan masalah masa lalunya itu. Mengungkap semuanya supaya masyarakat tahu. Supaya dia tidak terjebak lagi dengan dan dalam masa lalu itu. Karena jika tidak, itu (dugaan keterlibatan Timur dalam pelanggaran HAM Trisakti dan Semanggi) akan terbawa sampai dia menjabat sebagai Kapolri dan bahkan sampai dia turun lagi dari jabatan itu.