Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Belum Seorang pun Jenguk Hakim Imas di Penjara

Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung, Imas Dianisari, belum seorang pun yang menjenguknya di Rumah Tahanan.

Penulis: Abdul Qodir
Editor: Ade Mayasanto
zoom-in Belum Seorang pun Jenguk Hakim Imas di Penjara
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung, Imas Dianasari, usai diperiksa penyidik KPK, di kantor KPK, Jakarta Selatan, Jumat (1/7/2011). Imas tertangkap tangan menerima suap dari Manajer Administrasi PT.Onamba Indonesia (OI), Odi Juanda, senilai Rp 200 juta dalam pengurusan kasus di Mahkamah Agung. (tribunnews/herudin) 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Qodir

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sehari setelah penahanan oleh Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), tersangka suap hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung, Imas Dianisari, belum seorang pun yang menjenguknya di Rumah Tahanan Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Imas Dianasari, hakim adhoc PHI Bandung, dibekuk KPK saat hendak menerima suap Rp200 juta dari pihak berperkara, Manager Administrasi PT Onamba Indonesia, Ode Juanda, di salah satu restauran, Jalan Jelambar, Bandung, Kamis (30/6/2011), petang. Dia ditahan KPK di Rutan Pondok Bambu sejak Jumat (1/7/2011) malam. "Dari tadi pagi saya tugas sampai sekarang belum ada keluarganya hakim itu yang besuk. Mungkin karena jauh, kan dia orang Bandung," kata sipir penjaga rutan, Suwaya, di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, Sabtu (2/7/2011) siang.

Suwaya juga mengatakan, belum ada perwakilan Mahkamah Agung (MA) yang datang menemui hakim Imas di rutan.

Imas adalah hakim ketiga yang ditangkap KPK karena kasus suap.

Sebelumnya, KPK telah membekuk hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta, Ibrahim, yang diduga menerima suap Rp 300 juta dari pengacara bernama Adner Sirait di Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat, pada Maret 2010. Selanjutnya, pada awal Juni 2011, KPK juga mencokok hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, bernama Syarifuddin, karena diduga menerima suap dari seorang kurator sebesar Rp 250 juta dan mata uang asing bernilai miliaran.

Berita Rekomendasi
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas