Hakim Syarifuddin Simpan Tas Berisi Uang Rp 250 Juta
Kurator Puguh Wirawan didakwa menyuap hakim pengawas Kepailitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarifuddin sebesar Rp 250 juta.
Penulis: Vanroy Pakpahan
Editor: Ade Mayasanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com Vanroy Pakpahan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kurator Puguh Wirawan didakwa menyuap hakim pengawas Kepailitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarifuddin sebesar Rp 250 juta. Suap sebesar itu diberikan langsung oleh Puguh secara tunai.
Puguh mengantarkan langsung uang itu ke kediaman Syarifuddin. Dia menggunakan tas merah untuk menyembunyikan uang suap itu dari "mata" KPK.
"Terdakwa setelah berkonsultasi dengan Syarifuddin dan sebelum berpamitan pulang memberikan tas berwarna merah berisi uang sebesar Rp 250 juta," ujar jaksa Zet Tadung Allo membacakan surat dakwaan untuk Puguh di Pengadilan Tipikor, Selasa (23/8/2011).
Setelah menerima tas berisi uang suap itu, Syarifuddin, kata JPU, menyimpan tas tersebut ke kamarnya. Tas itu kemudian disita oleh petugas KPK yang menangkap Syarifuddin dan menggeledah rumah sang hakim, beberapa saat setelah Puguh pulang.
Uang suap Rp 250 juta itu sendiri, ungkap JPU, sudah dijanjikan Puguh akan diberikannya kepada Syarifuddin sejak 11 April 2011. Janji itu dilontarkan Puguh saat dirinya dan anggota tim Kurator lainnya mengantarkan laporan pengurusan atau pemberesan asset pailit PT SCI
yang dibuat mereka untuk menyikapi surat yang dilayangkan Syarifuddin kepada tim kurator pada tanggal 23 Maret 2011.
Surat kepada Tim kurator itu dilayangkan Syarifuddin menyikapi keberatan yang diajukan Darwati, penasihat hukum dari eks pekerja dan serikat pekerja (SP) PT SCI yang merupakan salah satu kreditur utama, melalui surat per tanggal 16 Maret 2011. Dalam surat itu, Darwati menyampaikan keberatan kreditur atas pelaksanaan tugas kurator dan meminta agar dilakukan pertemuan antara seluruh pihak yang terkait untuk menyelesaikan permasalahan dalam penjualan asset bodel pailit.
"Atas keberatan tersebut, Syarifuddin selaku hakim pengawas mengirim surat tanggal 23 Maret 2011 yang ditujukan kepada tim kurator yang isinya meminta tim kurator untuk memberikan laporan pelaksanaan laporan pengurusan atau pemberesan asset pailit PT SCI kepada hakim pengawas," katanya.
Kembali kepada laporan yang dibuat tim kurator untuk me nindaklanjuti surat dari Syarifuddin, laporan yang berisi penjelasan permasalahan dalam penjualan asset boedel SHGB 7251 itu diantarkan langsung oleh Puguh ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tempat Syarifuddin bekerja. Saat itu, Puguh ditemani oleh Michael Marcus Iskandar.
"Dalam pertemuan tersebut terdakwa dan Michael Marcus Iskandar menyampaikan secara lisan rencana untuk menjual asset bodel pailit SHGB 7251 dengan mekanisme non boedel pailit sebagaimana halnya dengan asset bodel pailit sebidang tanah seluas 38.875 meter persegi yang terletak di jalan Mercedes Benz Km.3 nomor 39 Gunung Putri Bogor yang
telah dijual secara non boedel karena status tanahnya adalah milik pihak ketiga (bukan atas nama PT SCI) berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 429 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 29 Juni 2010," ujar Zet.
Agar Syarifuddin menyetujui penjualan asset boedel pailit SHGB 7251 dengan mekanisme non boedel pailit itu lah, Puguh kemudian menjanjikan Syarifuddin akan mendapat fee sebesar Rp 250 juta. Fee akan diberikan jika Puguh sudah mendapat fee dari hasil kerja kerasnya mengurus dan membereskan harta pailit PT Skycamping Indonesia.
Puguh, pada akhirnya, memberikan uang yang telah dijanjikannya itu kepada Syarifuddin pada 1 Juni 2011. Puguh menggunakan alasan hendak berkonsultasi soal daftar pembagian hasil penjualan asset SHGB 5512 serta menanyakan persetujuan Syarifuddin atas laporan kurator terkait asset SHGB 7251 atas nama PT Tannata Cempaka Saputra sebagai asset non
boedel pailit untuk memberikan uang suap itu.
Uang suap itu juga sengaja diberikan sebelum Syarifuddin mengadakan rapat kreditur terbatas yang akan dilaksanakan pada tanggal 8 Juni 2011. Rapat terbatas akan dihadiri pihak PT BNI Tbk, buruh dan kantor pajak.