Komnas PA: Jari Dipotong Bukan di Kamar Operasi Itu Kesalahan Prosedur
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait menyatakan tindakan amputasi sepihak dokter RS Harapan Bunda
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak , Arist Merdeka Sirait menyatakan tindakan amputasi sepihak dokter RS HB, terhadap bayi berusia 2,5 bulan bernama Edwin Timothy Sihombing, diduga kuat sebagai bentuk tindakan malapraktik. Hal tersebut berdasarkan laporan yang dilakukan ayah Edwin kepada pihaknya.
Arist mengatakan, kesalahan penanganan medis diduga terjadi saat dokter menyuntikkan infus ke tangan Edwin. Menurutnya hal yang paling fatal ialah, mengapa dokter nekat menggunting dua ruas jari telunjuk Edwin tanpa memberitahukan kepada orangtuanya terlebih dahulu.
"Fatalnya pengguntingan itu tidak dilakukan di ruangan operasi, tapi malah di ruangan rawat. Itu saja menurut kami sudah melanggar prosedur penanganan medis bagi anak," kata Arist usai bertemu dengan ayah Edwin di kantor Komnas PA, Jalan TB Simatupang, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (10/4/2013).
Arist menuturkan dugaan malapraktik itu dilihat dari fakta yang diberikan kepada orangtua kepadanya. Menurutnya terdapat tiga hal dalam serangkaian proses penanganan medis yang diberikan dokter RS HB kepada Edwin yang menjadi pintu masuk adanya dugaan malapraktik.
"Pertama, saat Edwin masuk ke IGD khusus anak. Kedua, mengapa infus yang diberikan kepada Edwin menyebabkan bengkak pada titik infus serta jari telunjuknya. Ketiga, adanya upaya dokter menggunting telunjuk bayi tanpa sepengetahuan orangtua terlebih dahulu," jelasnya.
Sebelumnya, ayah korban Gonti Laurel Sihombing menuturkan, disaat anaknya mendapatkan penanganan pertama salah satu dokter yang melakukan penanganan pertama pada Edwin, sempat mengatakan bahwa ada obat yang mengaku kepada orangtuanya bahwa telah salah memberikan komposisi obat kepada Edwin.
Kuat dugaan hal itulah yang menyebabkan pembengkakan bahkan pembusukan pertama pada telunjuknya.
"Tanggal 20 Februari anak saya masuk UGD. Ditanganin dengan pemberian alat pernafasan, obat kejang lewat dubur dan infus. Nah lewat selang infus itu disuntikan obat apa gitu," kata Gonti kepada wartawan di Kantor Komnas PA, Jalan TB Simatupang, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (10/4/2013).
Lebih lanjut Gonti mengatakan, ia baru mendengar pengakuan dokter tanggal 2 April, saat dirinya memberikan somasi kepada rumah sakit atas amputasi sepihak yang telah dilakukan dokter, 31 Maret 2013 sebelumnya.
"Kata dokter, dia memberikan obat yang pekat. Tanpa menginformasikan diawal kepada saya. Mungkin over dosis atau bagaimana saya juga kurang paham," lanjutnya.
Gonti mengatakan, dokter tersebut tak menyangka efek samping yang berbeda terhadap setiap pasien tersebut terjadi pada bayinya.
Namun, yang paling disesalkan Gonti adalah, mengapa informasi bahwa obat yang diberikan kepada putra pertamanya tersebut memiliki efek samping negatif tidak diberitahukan pada orangtuanya terlebih dahulu. Menurut Gonti, peristiwa tersebut mencederai kepercayaan dirinya terhadap profesionalitas dokter itu.
"Kalau tahu begitu saya minta kepada dokter untuk tidak memberikan obat itu pada anak saya. Nah, kalau sekarang mau bagaimana lagi, anak saya sudah cacat tangan kanannya," sesal Gonti.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada satu pun pihak rumah sakit HB yang bisa ditemui untuk konfirmasi.