BK DPR Dinilai Zalim
Ia diminta komentar soal pernyataan Wakil Ketua BK Ali Machsan Moesa bahwa pihaknya sedang memproses pemecatan
Penulis: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Bukan hanya Sutan Bhatoegana yang berang bahkan mengancam membubarkan Badan Kehormatan (BK) DPR karena telah gegabah. Sukur Nababan pun merasa dizalimi. Bahkan kezaliman DPR seribu kali lipat bila sampai memberhentikan atau memecat politisi PDI Perjuangan itu dari keanggotannya di DPR.
“Kezaliman BK seribu kali lipat bila sampai memberhentikan Pak Sukur,” ujar Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima di Jakarta, Kamis (16/5/2013).
Ia diminta komentar soal pernyataan Wakil Ketua BK Ali Machsan Moesa bahwa pihaknya sedang memproses pemecatan anggota Komisi VI DPR Sukur Nababan yang ketidakhadirannya dalam rapat-rapat paripurna melampaui batas toleransi enam kali sebagaimana diatur dalam UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
"Yang ada sekarang ya Pak Sukur Nababan. Surat keterangannya menyusul. Akan diputuskan dalam waktu dekat," kata Ali Machsan Moesa, Rabu (15/5/2013).
Tanpa bermaksud membela rekan sefraksinya, Aria pun memaparkan fakta obyektif. Ketidakhadiran Sukur dalam sejumlah rapat paripurna DPR, kata Aria, bukan tanpa asalan jelas. Saat itu Sukur diserang suatu penyakit, semacam stroke ringan sehingga kondisi kedua bibirnya tidak simetris, maka yang bersangkutan harus berobat ke Singapura.
“Justru Mbak Puan (Ketua Fraksi PDI Perjuangan Puan Maharani,red) yang menginstruksikan Pak Sukur berobat ke Singapura. Yang bersangkutan pun telah mengajukan izin, mulai 1 Juli 2012 hingga enam bulan ke depan. Bahwa izin itu mungkin tak sampai ke BK atau Sekretariat Jenderal DPR, itu bukan salah Pak Sukur. Kesalahan teknis itu mungkin terjadi di stafnya atau bahkan staf fraksi,” jelasnya.
Aria lalu merujuk contoh adagium hukum yang berbunyi, “Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum seorang tak bersalah”. Artinya, bila BK sampai memecat Pak Sukur, BK melakukan kezaliman seribu kali lipat,” tegasnya.
“Kalaupun dianggap salah, itu hanya kesalahan administratif, bukan pelanggaran etika atau tata tertib. Jadi tidak benar bila dikatakan Pak Sukur melanggar UU MD3. Maka, BK harus obyektif. Dalam menjatuhkan sanksi, harus sesuai fakta. Jangan mengada-ada,” katanya.
Dihubungi terpisah, Sukur Nababan mengaku sudah diklarifikasi BK, Februari lalu atau beberapa saat setelah dirinya dinyatakan sembuh. Di depan BK, Sukur menyampaikan beberapa hal.
Pertama, ketidakhadirannya di sejumlah rapat paripurna karena dirinya sakit “belpasi” yang membutuhkan istirahat dan pengobatan intensif. Kedua, ia sudah mengajukan surat izin sakit ke fraksi, tapi staf Sukur lalai, tidak menyampaikan izin yang sama ke Sekjen DPR, dan untuk itu ia sudah minta maaf ke BK.
Ketiga, usai klarifikasi, BK minta surat dokter sebagai bukti, maka Sukur pun memberikan surat dari sebuah klinik di Singapura dan Malaysia.
Ikrawady, staf Sukur, kemudian memperlihatkan surat keterangan dari Yeo Neurology and Clinical Neurophysiology, Singapura, yang menerangkan bahwa Sukur menjalani pengobatan di klinik itu sejak Juli 2012 hingga Februari 2013. Surat tertanggal 7 Februari 2013 itu ditandatangani DR Yeo Poh Teck.
“Saya sadar bahwa kehadiran di rapat-rapat DPR adalah kewajiban dan tanggung jawab sebagai anggota DPR. Maka saya tidak bolos. Saya tidak melalaikan tugas. Mbak Puan juga sudah memberikan klarifikasi soal ini,” kata Sukur.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.