Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Permintaan Maaf Tanda Pemerintah Tak Mampu Tegakkan Hukum

Permintaan maaf presiden itu justru menjadi pertanyaan dunia internasional atas tak tegaknya hukum bagi pelanggar pembakar

Penulis: Johnson Simanjuntak
zoom-in Permintaan Maaf Tanda Pemerintah Tak Mampu Tegakkan Hukum
Tribun Pekanbaru/Melvinas Priananda
Warga tetap beraktifitas meskipun kabut asap tebal menyelimuti kota Pekanbaru, Selasa (25/6/2013). Pemerintah melakukan sejumlah upaya guna mengurangi terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang lebih luas dengan melakukan hujan buatan serta penambahan personil pemadaman kebakaran. (Tribun Pekanbaru/Melvinas Priananda) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Permintaan maaf Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait kebakaran hutan yang menimbulkan asap besar bagi negara Singapura, dan Malaysia sebagai bukti bahwa pemerintah tak mampu menegakkan hukum bagi pengusaha besar, yang mengorbankan hutan selama ini.

“Permintaan maaf presiden itu justru menjadi pertanyaan dunia internasional atas tak tegaknya hukum bagi pelanggar pembakar hutan untuk perluasan usahanya. Apalagi pemerintah tak mau menandatangani ratifikasi kebakaran hutan dengan segala konsekuensinya, dan kita memang tak pernah serius menangani pelanggaran ini,” kata pengajar hukum lingkungan Universitas Indonesia, Andri G. Wibisana, Ph.D dalam dialog ‘Asap dan Jati Diri Bangsa’ bersama Ketua Komisi II DPR RI FPG Agun Gunandjar Sudarsa dan Ketua Komisi I DPR RI Mahfudh Siddiq di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (1/7/2013).

Menurut Andri, wajar kalau Singapura mendesak pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan masalah asap tersebut secara hukum, menyadari negaranya sudah meratifikasi soal kebakaran hutan tersebut. Bahwa ada prinsip-prinsip tak melanggar hak asasi manusia, tak boleh merugikan wilayah negara lain, dan tak melanggar hukum lingkungan.

“Jadi, Indonesia harus bertanggung jawab. Persoalannya, kita memang tidak menandatangani perjanjian internasional atau ratifikasi kebakaran hutan,” katanya.

Agun Gunandjar mengakui jika pemerintah belum siap menghadapi era global dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, HAM, supremasi hukum, dan lingkungan. Padahal, sekarang ini tak ada satu negara pun yang bisa maju, tanpa membutuhkan negara lain.

“Presiden harusnya tak cukup minta maaf, tapi juga mendesak Singapura dan Malaysia, agar ikut mewujudkan ketertiban dunia, perdamaian, dan keadilan sosial dengan menindak perusahaan mereka yang beroperasi di Indonesia, yang terbukti melanggar hukum. Ini norma politiknya sebelum meminta maaf,” ujarnya.

Mahfuh Siddiq mengatakan 52 persen kebakaran hutan itu memang untuk perluasan lahan baru, yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar Singapura, dan Malaysia. Karena itu, sejak tahun 2009 dalam konvensi perubahan iklim semua negara khususnya Indonesia sebagai negara terbesar ketiga penyumbang emisi karbon, diminta menguranginya dari efek rumah kaca dan kebakaran hutan itu.

BERITA TERKAIT

“Komitmen kita sudah baik, hanya tidak mampu menghadapi kekuatan pasar domestik dan global. Maka aneh, kalau minta maaf, sementara pelakunya perusahaan Singapura dan Malaysia sendiri?” kata Mahfudh.

Tags:
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas