Konsep Pembuktian Terbalik di Kasus Suap Masih Rendah
Pasal-pasal yang mendukung pelaksanaan konsep tersebut selama ini hanya sebagai pasal-pasal tidur
Penulis: Eri Komar Sinaga
Laporan Wartawan Tribunnews, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktik konsep pembalikan beban pembuktian, sering disebut sebagai pembuktian terbalik dalam kasus terdakwa suap dan tindak pidana korupsi penerapannya masih sangat rendah di Indonesia.
Pasal-pasal yang mendukung pelaksanaan konsep tersebut selama ini hanya sebagai pasal-pasal tidur yang tidak memiliki makna.
"Artinya dalam sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan pasal-pasal tersebut tidak mencapai 0,1 persen dari totalitas perkara korupsi," ujar Hakim Agung Salman Luthan saat Diskusi Kamar Pidana Mengenai Pembalikan Beban Pembuktian di Mahkamah Agung , Jakarta, Jumat (18/7/2013).
Pasal yang dimaksud adalah keberadaan pasal-pasal suap diintrodusir dari KUHP ke dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, baik Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Pasal 1 ayat 1 sub c maupun Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 5 - Pasal 13.
"Ketentuan delik suap dalam UU Tindak Pidana Korupsi hanya macan ompong yang tidak punya daya tangkal sama sekali," kata dia.
Pembalikan beban pembuktian merupakan instrumen wajib untuk menguji kewajiban pelaporan kekayaan negara yang diterima pegawai atau penyelenggara negara yang berasal dari gratifikasi merupakan suap atau tidak.
Dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara pidana, maka model pembuktian terbalik dalam Konvensi Anti Korupsi 2003 Pasal 31 ayat 8 dapat digunakan.
Yaitu dengan mendukung penggunaan prosedur keperdayaan dalam menerapkan teori pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan. Artinya sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut ditujukan untuk menggugat hak kepemilikan seserong atas harta kekayaannya yang berasal dari tindak pidana korupsi.
"Dengan demikian, kedudukan pembalikan beban pembuktian sebagai alternatif model pembuktian untuk kasus tindak pidana suap yang berasal dari pemberian atau gratifikasi memperoleh dasar pembenaran sosiohistoris dan doktriner sehingga merupakan solusi yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan pembuktian kasus-kasus suap yang berasal dari gratifikasi sulit pembuktiannya," ujar Salman.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.