Politik Dinasti Dinilai Sebabkan Pilkada tak Untungkan Masyarakat
Pilkada di Indonesia dinilai tak memberikan untung kepada masyarakat. Pasalnya, pilkada masih kental dengan praktik politik dinasti.
Penulis: Danang Setiaji Prabowo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia dinilai tak memberikan untung kepada masyarakat. Pasalnya, pilkada di sejumlah daerah kental dengan praktik politik dinasti.
Menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia, Ari Junaedi, pragmatisme politik menjadi sebab politik dinasti kian marak dan tak memberikan pendidikan politik sama sekali kepada masyarakat.
"Demi kekuasaan, kepatutan dalam berpolitik dinomor duakan dan kian dianggap tak penting. Misalnya, makin maraknya praktik politik dinasti di berbagai pilkada," tegas Ari, Minggu (21/7/2013).
Ari mengatakan, politik dinasti dalam dunia politik memang merupakan kewajaran. Asalkan, para "politisi dari satu dinasti" itu tetap mengedepankan nilai kepatutan dan mau mempertanggungjawabkan perilakunya kepada publik.
"Tapi karena nilai kepatutan itu diabaikan, jangan heran bila ada kasus sang suami masih mendekam di penjara karena terlibat kasus korupsi, tapi sang istri maju dalam pilkada. Misalnuya, kasus istri mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad," ujarnya.
"Hampir disemua ajang pilkada, bila suami sudah menyelesaikan masa tugasnya sebagai kepala daerah, sang istri seolah-olah 'terpanggil' ikut meneruskan jejak kepemimpinan keluarga dalam politik," tambahnya.
Koordinator Indonesian Budgeting Center (IBC) Arif Nuralam juga mengatakan, politik dinasti harus dihilangkan. Menurutnya, politik dinasti cenderung melahirkan pemimpin yang feodal dan korup. Untuk itu, ia setuju bila RUU Pilkada hendak mengaturnya.
"Termasuk suami atau istri atau anak yang terbukti pernah korupsi, maka tak pantas untuk diusung. Karena akan melanggengkan dinasti yang korup," kata Arif.