Evaluasi UNDP: Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia Membaik
Evaluasi RPJMN fase kedua dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia, 2005-2025 dilakukan UNDP
Penulis: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indeks pembangunan manusia (IPM) di berbagai daerah di Indonesia cenderung membaik seiring dengan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2010-2014. Demikian hasil evaluasi awal yang dilakukan oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( UNDP), Pemerintah Indonesia, dan Badan Kerja Sama Internasional Jerman (GIZ).
Evaluasi RPJMN fase kedua dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia, 2005-2025 dilakukan UNDP melalui proyek penguatan Penguatan Tata Kelola Pemerintah Provinsi (PGSP).
“Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat ternyata semakin membaik selama dua dekade terkahir, meskipun laju perbaikannya relatif tertinggal dibanding dengan negara-negara tetangga," kata Manajer Proyek PGSP Mellyana Frederika dalam siaran pers yang diterima Tribunnews, Rabu(24/3/2013) dini hari.
“Berbeda dengan anggapan umum selama ini, ketimpangan pembangunan manusia (IPM) di Indonesia ternyata cendrung semakin mengecil,” tambahnya.
Pada tahun 2011, IPM kawasan Sumatera, Jawa dan Bali pada umumnya berada di atas rata-rata nasional (72,77). Sedangkan IPM kawasan di luar Jawa, Sumatera dan Bali (Indonesia Tengah dan Timur) pada umumnya dibawah rata-rata nasional, kecuali Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara.
Sementara itu daerah tertinggal seperti NTT, NTB dan Papua juga telah mengalami kemajuan tingkat IPM yang lebih pesat dibanding daerah lainnya.
“Walaupun angka kemiskinan terus menurun seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dan diperkirakan akan mencapai target RPJMN pada kisaran 5-6% akhir 2014, namun tampaknya masih memerlukan kerja keras untuk mencapai target pada kisaran 8-10% tahun 2014 karena ternyata kemiskinan masih menumpuk di pedesaan.” kata Mellyana.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2009, tingkat kemiskinan di pedesaan dilaporkan mencapai 17,35% dari jumlah penduduk di pedesaan, sedangkan di perkotaan sebesar 10,72 %.
Selanjutnya, pada tahun 2012 dilaporkan bahwa tingkat kemiskinan pedesaan turun menjadi 14, 7% dari jumlah penduduk di pedesaan, sedangkan di perkotaan turun menjadi 8,6%.
Pencapaian indikator sasaran lainnya yang terlihat cukup baik dan diprediksi akan mencapai target 2014 adalah bidang pendidikan, yakni angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar dan sekolah sederajat, serta APM sekolah menengah pertama (SMP) dan sederajat.
Hanya saja, untuk bidang pendidikan tampaknya masih diperlukan kerja keras untuk mencapai target angka partisipasi kasar (APK) sekolah menengah atas (SMA) dan sederajat serta APK perguruan tinggi.
Sementara itu, target angka harapan hidup (AHH) juga memperlihatkan perbaikan dan diprediksi mencapai target 2014 (72 tahun).
Hasil evaluasi awal pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2010-2014 ini juga menemukan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi masih berpusat di pulau Jawa dan Sumatera, ternyata muncul kekuatan ekonomi baru (emerging economy) yakni Sulawesi dan Kalimantan.
Diprediksi kekuatan-kekuatan baru yang lain akan bermunculan apabila MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) terlaksana sesuai harapan.
Pada tahun 2009, kontribusi Sulawesi terhadap PDB mencapai 4,72%, dan pada tahun 2011 naik menjadi 4,87%. Kendati mengalami sedikit penurunan, Kalimantan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PDB, yakni sebesar 8,63% pada tahun 2009 dan 8,46% pada tahun 2011.
“Tidak bisa dipungkiri, ketimpangan distribusi pendapatan ternyata semakin melebar semenjak tahun 2009 dan masih merupakan tantangan besar di Indonesia,” kata Mellyana.
“Pada tahun 2009 indeks Gini (disparasi pendapatan) sebesar 0,37, sedangkan pada tahun 2012 meningkat menjadi 0,41,” tambahnya.
Meskipun daya tahan perekonomian Indonesia mengesankan dengan ditandai dengan pertumbuhan di atas 6% selama 2010-2012 di tengah situasi global yang tidak kondusif, daya saing global Indonesia agak stagnan selama empat tahun terakhir.
Salah satu kelemahan utama adalah faktor institusi. Variabel institusi Indonesia stagnan pada nilai empat (4) dari skala tujuh (7).
Selain faktor institusi, defisit infrastruktur, teknologi dan inovasi juga merupakan faktor-faktor yang mengakibatkan stagnannya daya saing global Indonesia. Semua faktor yang tersebut terakhir berada pada skor 3-4 dari skala 7 yang digunakan World Economic Forum.
Menurut World Economic Forum (dalam Global Competitiveness Report 2012-2013), lingkungan institusional ditentukan oleh kerangka legal dan kerangka administratif yang di dalamnya para individu, perusahaan dan pemerintah berinteraksi untuk menghasilkan kesejahteraaan (wealth).
Kualitas institusi sangat mempengaruhi daya saing dan pertumbuhan. Kualitas institusi mempengaruhi keputusan-keputusan investasi dan pengorganisasian produksi, serta memainkan peran kunci terhadap cara-cara masyarakat mendistribusikan keuntungan dan memikul biaya-biaya dari strategi dan kebijakan pembangunan.
Lebih jauh lagi, peranan institusi melampaui kerangka legal. Oleh karena itu sikap pemerintah terhadap pasar dan kebebasan serta efisiensi penyelenggaraan pemerintahan juga sangat penting.