Ini 9 Pasal RUU KUHAP yang Dinilai Bisa Lemahkan Kewenangan KPK
KPK terancam kehilangan sejumlah kewenangan, termasuk di antaranya menyita dan menyadap pembicaraan.
Penulis: Y Gustaman
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terancam kehilangan sejumlah kewenangan, termasuk di antaranya menyita dan menyadap pembicaraan. Dua kewenangan itu harus mendapat izin hakim pemeriksa pendahuluan merujuk draf Revisi UU KUHAP yang kini dibahas di Komisi III DPR RI.
Koordinator dan Divisi Hukum Peradilan Indonesia Corruption Watch, Emerson Yunto, menerangkan, peran hakim pemeriksa pendahuluan atau hakim komisaris berwenang menentukan apakah penyitaan atau penyadapan atas pidana korupsi boleh dilakukan KPK.
Pasalnya, kata Emerson, dalam draf RUU KUHAP memberi kewenangan luar biasa bagi hakim komisaris (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) yang dapat memutuskan dilanjutkan atau tidaknya penuntutan, penyitaan dan penyadapan sebuah perkara pidana secara final.
"Langkah DPR menyegerakan pengesahan RUU KUHAP dan KUHP yang dalam sejumlah ketentutannya mengundang upaya pelemahan atau pembunuhan terhadap KPK patut dicurigai," ujar Emerson dalam diskusi di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (1/10/2013).
Emerson menjelaskan, dalam Pasal RUU KUHP Bab XXXVII Ketentuan Peralihan menyebut jika ini mulai berlaku, maka undang-undang di luar undang-undang ini (seperti UU KPK) diberikan masa transisi paling lama tiga tahun untuk dilakukan penyesuaian dengan undang-undang ini.
Setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a berakhir, maka ketentuan pidana kejahatan dan pelanggaran yang diatur dalam semua undang-undang atau peraturan daerah dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan tindak pidana.
Setidaknya, kata Emerson, ada sembilan pasal dalam RUU KUHAP yang dinilai ICW bermasalah dan mengekang kewenangan dan mengebiri eksistensi KPK yang selama ini memakan banyak korban koroptor dari kalangan eksekutif, yudikatif, legislatif dan swasta.
Berikut sembilan pasal tersebut:
1. Pasal 3 ayat 2 intinya ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain.
Dampak dari Pasal 3 ayat 2 yaitu, bahwa ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi yang saat ini digunakan KPK.
2. Pasal 44 intinya tentang penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
Dampak dari Pasal 44 yaitu bahwa penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
3. Pasal 58 intinya tentang Penentuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5x24 jam.
Dampak dari Pasal 58 yaitu KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan. Disini, hanya disebutkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Negeri. Kepala Kejaksaan Negeri atau penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.