Anggota Komisi III: Perppu Tidak Perlu karena Kadaluarsa
Sudding menilai walau Ketua Mahkamah Konstitusi (nonaktif) Akil Mochtar ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak ada kendala
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi 3 DPR RI Fraksi Hanura, Sarifuddin Sudding, menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu MK) sudah tidak penting karena sudah melewati batas kegentingan.
Sudding menilai walau Ketua Mahkamah Konstitusi (nonaktif) Akil Mochtar ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak ada kendala atau hak warga negara dirugikan karena akfititas MK terganggu.
"Banyak beranggapan sudah lewat, sudah tiga minggu (pascapenangkapan Akil). Kalau melihat dasar pertimbangan dan melihat fakta sekarang, pascapenahanan Akil, delapan hakim masih jalankan fungsinya. Ada 6-7 putusan yang dikeluarkan pascapenahanan Akil Mochtar. Tidak ada masalah. Berarti MK masih menjalankan tugas dengan baik," ujar Sudding saat diskusi bertajuk 'Ada Ragu di Balik Perppu' di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (19/10/2013).
Sudding juga mempermasalahkan butir Perppu MK dimana syarat menjadi hakim konstitusi dari unsur partai politik harus tujuh tahun berhenti dari kegiatan politiknya. Menurut Sudding, tidak ada jaminan orang tersebut akan bersih walau sudah berhenti selama tujuh tahun.
"Tidak ada jaminan apakah dia dari partai politik atau non partai politik ketika perilaku dan moralitasnya tidak benar juga akan melakukan tindakan tercela. Ini adalah oknum, bukan persoalan parpol atau nonparpol. Kalau kita lihat Pak Patrialis, Hamdan Zoelva, itu orang parpol yang disulkan presiden. Jangan lalu Pak Akil dilihat usulan dari parpol, jadi disimpulkan orang parpol seperti Pak Akil Mochtar," kata Sudding.
Sudding juga mengkritisi pengawasan hakim konstitusi yang melibatkan Komisi Yudisial dalam membentuk majelis kehormatan hakim. KY, kata Sudding, tidak memiliki landasan hukum ikut mengawasi karena kewenangan itu pernah diputuskan MK pada tahun 2006 dan 2011.