Pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi Tidak Tepat
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Aboe Bakar Al Habsyi mengatakan mencermati Perpu No 1 Tahun 2013
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Widiyabuana Slay
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Aboe Bakar Al Habsyi mengatakan mencermati Perpu No 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) harus dilihat dari dua sisi.
Pertama dari sisi kontennya yang kedua dari konteks bentuknya. Soal ini, ada tiga isu utama yang diatur oleh Perpu tersebut, yaitu persyaratan hakim MK yang tidak boleh menjadi anggota parpol selama 7 tahun seebelumnya. Kedua mengenai mekanisme seleksi yang menggunakan panel ahli. Ketiga, dibentuknya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang dibentuk permanen untuk melakukan pengawasan terhadap hakim MK.
Kata politisi PKS ini, mengenai persyaratan hakim MK yang tidak boleh menjadi anggota parpol 7 tahun sebelum diusulkan, dianggapnya cukup baik. Hal ini untuk meningkatkan independensi hakim, agar meyakinkan publik bahwa mereka tidak terkontaminasi oleh kepentingan politik.
Namun, menurut dia, bila mau konsisten seharusnya calon juga dipersyaratkan tidak boleh menjadi aparatur negara atau PNS selama 7 tahun sebelumnya. Karena MK tidak hanya menyidangkan persoalan politik, namun juga materi yang berhubungan dengan pemerintahan.
Sedangkan pembentukan panel ahli memang bagus untuk menjaga kualitas hakim MK, agar ada standarisasi kemampuan melalui uji keahlian dibidang hukum dan konstitusi.
Sementara itu, pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi menurut dia tidak tepat, karena pengaturan yang serupa sudah pernah disidangkan oleh MK, yang kemudian pasal tersebut dibatalkan.
"Adanya pasal yang mengatur komposisi majelis kehormatan hakim MK dengan memasukkan unsur DPR, pemerintah, MA, KY secara permanen justru akan mengancam dan mengganggu kemandirian hakim MK," ujarnya kepada Tribunnews.com, Minggu (20/10/2013).
Lebih lanjut dijelaskan, adanya keempat unsur itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena mereka dapat menjadi pihak yang berperkara di MK.
Selain itu, soal perubahan UU MK melalui Perpu dia menilai itu juga tidak pas, karena sebenarnya tiga konten yang berkaitan dengan, persyaratan hakim MK, penjaringaan dan seleksi, serta pengawasan hakim MK lebih cocok diatur dalam revisi UU MK.
Mencermati itu semua, dia tegaska, bahwa dirinya belum melihat ada urgensi yang mendesak. Karena MK masih bisa berjalan normal dengan delapan hakim konstitusi yang ada.
Alasannya, belum ada hal ikhwal yang memaksa yang menyebabkan kelumpuhan MK, yang pada kondisi tersebut menuntut presiden mengeluarkan perpu. Memang hal ikhwal yang memaksa dalam syarat penerbitan perpu adalah hak subyektif presiden, yang nantinya akan diuji secara obyektif oleh DPR sebagaimana ketentuan pasal 22 ayat 2 UUD 1945.
Namun mengenai persyaratan, seleksi serta penjaringan masih bisa dilakukan dengan UU MK yang ada. Bilapun ingin dilakukan revisi dapat ditempuh jalur reguler sebagaimana diatur dalam UU no 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.