Korupsi Butuh 'Illicit Enrichment'
Kata Yunus di Australia norma tersebut sudah diterapkan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan Yunus Husein mengatakan banyak penyelenggara negara yang melaporkan kekayaannya, namun tidak bisa membuktikan dari mana sumber kekayaan tersebut.
Dalam konferensi pers "Pemiskinan Koruptor dan Pengaturan Norma Illicit Enrichment" di kantor Indonesia Coruption Watch (ICW), Jakarta Selatan, Jumat (01/11/2013) Yunus mengatakan dengan 'Illicit Enrichment' penegak hukum bisa menindak para penyelenggara negara yang jumlah kekayaannya tidak sesuai dengan penghasilannya.
"Sekarang peraturannya belum ada. Tapi banyak penyelenggara negara yang jujur melaporkan kekayaannya, tapi tidak bisa membuktikan asalnya dari mana," ujarnya.
Kata Yunus di Australia norma tersebut sudah diterapkan. Kata dia aset penyelenggara negara yang tidak bisa dibuktikan, bisa disita negara. Namun sang penyelenggara negara tidak dikenai pasal pidana.
Peneliti ICW Donald Fariz dalam kesempatan yang sama mengatakan penanganan kasus korupsi seringkali masih berujung dengan vonis mengecewakan.
Menurut data ICW sejak semester II tahun 2010 sampai semester I 2013 dari 756 terdakwa, ditemukan hanya 5 kasus dengan vonis di atas 10 tahun penjara. 185 diantaranya divonis 1 tahun penjara, 167 koruptor dijatuhi vonis 1-2 tahun, 217 koruptor divonis 2-5 tahun dan 35 diantaranya 5-10 tahun.
"ICW mencatat adanya penurunan tren vonis bebas ataupun lepas dalam kasus korupsi yang disidang, akan tetapi dominannya vonisnya rendah. Ini menunjukan masih lemahnya efek jera dalam pemberantasan korupsi," tuturnya.
"Keresahan tentang rendahnya efek jera dijawab dengan mengusung strategi pemiskinan koruptor," tambahnya,
Perampasan aset koruptor diatur dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi. Namun pasal itu pun masih menyisakan hambatan untuk penegak hukum merapas aset koruptor. Di pasal 18 ayat 1 tidak memungkinkan penegak hukum merampas aset di luar kasus korupsi.
"Padahal bukan tidak mungkin terpidana memiliki kekayaan lain yang tidak wajar, yang juga diperoleh melalui cara yang tidak patut," jelasnya.
Pasal 18 ayat 1 huruf B diatur penggantian uang negara bisa diganti dengan penambahan masa tahanan. Padahal dengan uang, bukan tidak mungkin di dalam penjara sang koruptor membeli sejumlah fasilitas khusus.