Pemerintah Masih Membiarkan Penerimaan Pasokan Limbah B3
Pemerintah Indonesia masih membiarkan dan menerima pasokan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3
Penulis: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM JAKARTA – Sejauh ini pemerintah Indonesia masih membiarkan dan menerima pasokan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3 )yang datang dari berbagai negara seperti dari Jepang, China, Perancis, Jerman , India, Belanda dan Korea.
Hal ini diutarakan Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice dan Juga Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dr M Riza Damanik pada kesempatan Diskusi Panel Serial Kedua yang diselenggarakan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti dengan tema “ Teknologi Ekonomi Kelautan, Dan Kewirasusahaan” di Hotel Sultan Jakarta, Sabtu (2/11/2013).
Bahkan kata Riza di Nusatenggara Barat, Kementerian Lingkungan Hidup RI mengizinkan PT Newmont Nusatenggara membuang 140.000 ton limbah tailing setiap hari ke Teluk Senunu. Akibatnya tidak saja lingkungan yangrusak, kehidupan nelayan baik secara eknonomi, sosial dan budaya pun terpuruk.
Pada Kesempatan yang sama Dewan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr H Didin S Damanhuri SE.MS. DEA mengutarakan pembangunan ekonomi saat ini lebih berprientasi pada pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) , berorientasi pada daratan dan makin terjadi ketergantungan kepada negara-negara maju terutama pada bidang keuangan dan teknologi, sehingga bangsa Indonesia mengalami kesulitan mensejahterakan rakyatnya secara adil dan merata yang mengakibatkan bias kota, nias Jawa, bias darat, bias pemodal besar.
Bahkan Kata Didin, upaya menghidupkan kembali budaya maritime era Gus Dur, spirit kewirausahaan Politik Benteng tahun 1950 dan era Suharto dan kemadirian khususnya dalam penguasaan teknologi pada era Suharto dan Habibie timbul dan kemudian tenggelam hingga saat ini.
“ Berarti bangsa ini belum bisa keluar dari jebakan masyarakat pasca colonial ( Post Colonial Society) untuk menjadi bangsa maritime yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan kepribadian secara budaya.” ujarnya
Terkait dengan adanya kegagalan paradigma pembangunan dalam praktik pengelolaan laut Indonesia, Riza mengatakan dimana penempatan laut sebagai ruang hidup yang menyatukan. Dengan komposisi sekitar 60 % rakyat Indonesia tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bahkan sebagian rakyat di antaranya ada yang melanjurkan tradisi hidup di atas laut, kondisi ini jelas merugikan.
Selain itu kata Riza penyeragaman pembangunan kota-kota pantai dan moda transportasi yang cenderung mengarah pada wilayah daratan seperti di pulau Jawa, telah menyulitkan akses antara pulau di timur Indonesia yang membutuhkan moda transportasi laut.. Lebih dari itu telah “membunuh” kreativutas dan perkembangan teknologi kelautan di Indonesia.