Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pemerintah Masih Membiarkan Penerimaan Pasokan Limbah B3

Pemerintah Indonesia masih membiarkan dan menerima pasokan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3

Penulis: Budi Prasetyo
zoom-in Pemerintah Masih  Membiarkan  Penerimaan  Pasokan  Limbah  B3
TRIBUNNEWS.COM / Budi Prasetyo
Diskusi Panel Serial dengan tema Teknologi, Ekonomi Kelautan dan Kewira Usahaan diselenggarakan oleh Yayasan Siluh Nuswantara Bakti di Hotel Sultan, Sabtu (2/11/2011) dengan menghadirkan pembicara Prof Dr H Didin S Damanhuri, M Harjono Kartohadiprpdjo SH, Dr M Riza Damanik serta Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti 

TRIBUNNEWS.COM  JAKARTA – Sejauh ini   pemerintah Indonesia  masih  membiarkan  dan  menerima  pasokan  limbah  Bahan Berbahaya  dan Beracun (B3 )yang  datang  dari berbagai negara seperti dari Jepang, China, Perancis, Jerman , India,  Belanda dan Korea.

Hal ini  diutarakan Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice dan Juga  Dewan Pembina  Kesatuan Nelayan  Tradisional Indonesia  (KNTI) Dr M Riza Damanik  pada  kesempatan Diskusi Panel Serial Kedua   yang diselenggarakan Yayasan Suluh Nuswantara  Bakti dengan tema “ Teknologi Ekonomi Kelautan, Dan Kewirasusahaan” di Hotel Sultan Jakarta, Sabtu (2/11/2013).

Bahkan  kata  Riza  di Nusatenggara  Barat, Kementerian  Lingkungan  Hidup RI  mengizinkan  PT Newmont Nusatenggara membuang 140.000 ton limbah tailing setiap hari ke Teluk Senunu. Akibatnya tidak saja lingkungan  yangrusak, kehidupan  nelayan baik secara eknonomi, sosial dan budaya pun terpuruk. 

Pada  Kesempatan yang  sama Dewan Guru Besar  Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr H Didin S Damanhuri  SE.MS. DEA   mengutarakan  pembangunan  ekonomi saat ini lebih berprientasi pada pertumbuhan  Gross Domestic Product (GDP)  , berorientasi pada  daratan dan  makin  terjadi ketergantungan  kepada negara-negara maju  terutama  pada bidang keuangan dan teknologi, sehingga  bangsa Indonesia  mengalami  kesulitan  mensejahterakan rakyatnya secara adil dan  merata yang mengakibatkan bias kota, nias Jawa, bias darat, bias pemodal besar.

Bahkan  Kata Didin,  upaya menghidupkan  kembali budaya maritime era Gus Dur, spirit  kewirausahaan Politik Benteng tahun 1950 dan era Suharto dan kemadirian  khususnya dalam  penguasaan teknologi  pada era Suharto dan Habibie timbul  dan kemudian  tenggelam  hingga saat ini.

“ Berarti  bangsa ini belum  bisa keluar dari jebakan  masyarakat pasca colonial ( Post Colonial Society) untuk menjadi bangsa maritime yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan kepribadian  secara budaya.” ujarnya

Berita Rekomendasi

Terkait  dengan   adanya kegagalan  paradigma pembangunan  dalam  praktik  pengelolaan laut Indonesia,  Riza  mengatakan  dimana  penempatan  laut sebagai ruang hidup yang menyatukan. Dengan  komposisi sekitar 60 % rakyat Indonesia tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bahkan sebagian rakyat di antaranya ada yang melanjurkan tradisi hidup di atas laut, kondisi ini  jelas  merugikan.

Selain itu  kata  Riza  penyeragaman pembangunan  kota-kota pantai dan moda transportasi yang cenderung mengarah  pada wilayah daratan  seperti di pulau Jawa, telah menyulitkan akses antara pulau di timur Indonesia yang membutuhkan  moda transportasi laut.. Lebih dari itu telah “membunuh” kreativutas dan perkembangan teknologi kelautan di Indonesia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas