Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Istri Fathanah: Hukuman 14 Tahun Berat Banget, Saya Sedih dan Kecewa

Sefty Sanustika mengaku kecewa atas vonis 14 tahun penjara yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor kepada suaminya, Ahmad Fathanah.

Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Yulis Sulistyawan
zoom-in Istri Fathanah: Hukuman 14 Tahun Berat Banget, Saya Sedih dan Kecewa
Warta Kota/Henry Lopulalan
Istri Ahmad Fatanah (AF), Sefti Sanustika saat menjadi saksi terdakwa kasus dugaan suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementan Luthfi Hasan Ishaaq pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor 

Laporan Wartawan Tribunnews.com Edwin Firdaus

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sefty Sanustika mengaku kecewa atas vonis 14 tahun penjara yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kepada suaminya, Ahmad Fathanah.

Sefty sedih atas hukuman yang dijatuhkan majelis hakim atas perkara suap pengurusan kuota impor daging sapi dan pencucian uang.

"Ya sedih, kecewa," kata Sefty melalui pesan singkat, Senin (4/11/2013) malam.

Lantaran masih diselimuti rasa kecewa, Sefty mengaku belum bisa berfikir lebih soal vonis yang dihadapi suaminya. Meski vonis yang dianggapnya begitu berat, Sefty menyatakan pihak keluarga tetap memberikan dukungan moril untuk Fathanah.

"Ya gitu berat banget lah intinya, tapi keluarga tetep suport," imbuhnya.

Selain dihukum 14 tahun penjara, majelis hakim juga menghukum Fathanah membayar denda  Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Berita Rekomendasi

Menurut Majelis Hakim, Fathanah secara bersama-sama anggota DPR periode 2009-2014 sekaligus Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq telah menerima hadiah atau janji dari Maria Elizabeth Liman selaku Direktur Utama PT Indoguna Utama.

"Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," kata Ketua Majelis Hakim Nawawi Pomolango saat membacakan amar putusan Fathanah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (4/11/2013) malam.

Joko memaparkan, Maria selaku Dirut PT Indoguna Utama disebut dua kali mengajukan penambahan kuota impor daging sapi ke Kementerian Pertanian (Kemtan), yaitu sebanyak 500 ton dan 5.150 ton.

Tetapi, untuk dua pengajuan yang dibantu oleh Elda Devianne Adiningrat dan terdakwa Fathanah, tidak dikabulkan oleh Kementan. Sehingga, melalui Fathanah meminta bantuan Luthfi Hasan Ishaaq yang ketika itu menjabat sebagai Presiden PKS dan Anggota DPR.

Untuk itu, Maria melalui Fathanah menjanjikan fee sebesar Rp 5.000 per kilo dari 8.000 ton pengajuan penambahan kuota terkahir. Sehingga, total janji sebesar Rp 40 miliar.

"Setelah terdakwa memberi tahu Luthfi bahwa Maria bersedia memberikan Rp 40 miliar jika bersedia tambahkan kuota 8.000 ton. Selanjutnya Luthfi bantu pertemukan Maria dengan Menteri Pertanian (Mentan) Suswono di Medan pada 11 Januari 2013," ujar hakim Joko Subagyo.

Sehingga, lanjut Joko, dapat disimpulkan ada kerjasama erat antara terdakwa Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan Ishaaq, yaitu membantu Maria Elizabeth Liman. Kerjasama tersebut untuk memperoleh imbalan uang dari Maria sebesar Rp 40 miliar.

Kerjasama yang erat tersebut, ungkap Joko, juga terbukti ketika terdakwa Fathanah langsung menghubungi Luthfi usai memperoleh janji imbalan Rp 40 miliar.

Bahkan, dalam pembicaraan tanggal 9 Januari 2013 tersebut, Luthfi sempat menjanjikan akan menambahkan kuota Indoguna menjadi 10.000 ton dari permintaan penambahan sebanyak 8.000 ton.

Kemudian lanjut Joko, terdakwa Fathanah kembali menghubungi Luthfi setelah menerima uang Rp 1,3 miliar dari Maria Elizabeth Liman. Dalam pembicaraan tersebut, Fathanah mengatakan ada kabar yang menguntungkan.

"Dengan demikian Luthfi telah menerima janji Rp 40 miliar yang sebagian Rp 1,3 miliar telah diterima terdakwa Fathanah. Padahal diketahui untuk menggerakan terdakwa selaku Presiden PKS dan anggota dewan agar rekannya Suswono memberikan penambahan kuota impor daging sapi," kata Joko.

Sementara mengenai tindak pidana pencucian uang, Fathanah dijerat dengan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Sebab, majelis hakim menilai Suami Sefty Sanustika itu selama tahun 2011 sampai 2013 melakukan pencucian uang sebagai perbuatan berdiri sendiri yaitu traansfer, belanjakan dan tukarkan, menyaruhkan uang senilai Rp 38.709.640.603, yang patut diduga hasil tidak pidana korupsi.

Dalam menjatuhkan vonisnya, majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Yang memberatkan, Fathanah dinilai kontra produktif terhadap tindak pidana korupsi, pernah dihukum sebelum perkara ini, tidak mendukung upaya pemerintah yang sedang gencar memberantas korupsi serta Fathanah telah melakukan lebih dari satu tindak pidana.

"Sementara yang meringankan, terdakwa berlaku sppan selama menjalani persidangan dan masih memiliki tanggungan keluarga," kata anggota majelis hakim, Joko Subagyo.

Dalam vonis pencucian uang terhadap Fathanah, tidak semua majelis hakim bulat mengambil keputusan. Hakim yang mengajukan dissenting opinion adalah anggota majelis hakim 4, I Made Hendra Kusuma dan anggota majelis haki 3, Djoko Subagyo.

Mereka berpendapat jaksa penuntut umum pada KPK tidak berwenang melakukan penuntutan atas perkara TPPU atas tersangka Luthfi Hasan Ishaaq.

Made Hendra menjelaskan, KPK berwenang melakukan penyidikan perkara pencucian uang yang tindak pidana asalnya korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 74 UU Nomor 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Namun UU tersebut tidak mengatur penuntut umum yang berwenang melakukan penuntutan atas tindak pidana pencucian uang. Merujuk Pasal 1 butir 13 KUHAP, penuntut umum yang dimaksud merupakan jaksa yang diberi wewenang oleh UU untuk melakukan penuntutan.

"Penuntut umum yang dimaksud hanya di bawah Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi sehingga tidak termasuk KPK. Oleh karena itu hasil penyidikan TPPU harus diserahkan penuntut umum kepada Kejaksaan Negeri setempat," papar Made Hendra.

Sedangkan hakim anggota Djoko Subagyo mengatakan kewenangan penuntutan TPPU harus ditentukan secara eksplisit.

"Penuntut umum KPK tidak punya kewenangan penututan atas TPPU ke pengadilan. Akibat tidak diterimanya TPPU maka surat dakwaan penuntut umum sepanjang mengenai TPPU haruslah dinyatakan tidak dapat diterima," ujarnya.

Menanggapi vonis tersebut, Fathanah dan Pensihat Hukum menyatakan pikir-pikir. Hal serupa juga dinyatakan tim Jaksa KPK yang diketuai Muhibuddin.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas