Politik Uang dan Manipulasi Suara Paling Dikhawatirkan Pemilih
Pemilu 2014 dibayangi kekhawatiran akut, yakni maraknya politik uang dan manipulasi suara pemilih.
Penulis: Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemilu 2014 dibayangi kekhawatiran akut, yakni maraknya politik uang dan manipulasi suara pemilih.
Temuan ini hasil penelitian Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) terhadap persepsi masyarakat.
"Politik uang dan manipulasi suara, pelanggaran paling mengkhawatirkan pemilih di Pemilu 2014," ujar Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz, kepada Tribunnews.com di Jakarta, Rabu (6/11/2013)
Menurut Masykurudin, persepsi masyarakat di atas berdasarkan penelitian JPPR yang dilakukan di lima provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Timur, dengan total responden berjumlah 1.003 orang.
Salah satu pertanyaan penelitian adalah tindakan pelanggaran yang paling mempengaruhi hasil Pemilu. Hasilnya, dari lima jawaban yang disediakan JPPR, politik uang dan manipulasi hasil suara paling dikhawatirkan oleh masyarakat pemilih, masing-masing 34 persen.
Jawaban terbanyak kedua adalah keberpihakan penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum, dengan 14 persen, pengunaan fasilitas negara 10 persen, dan intimidasi tujuh persen.
"Politik uang adalah cara paling primitif dalam mempengaruhi pilihan rakyat. Politik uang tak ubahnya seperti racun yang menjadi pangkal rusaknya sistem seleksi kepemimpinan kita melalui pemilu," tutur Masykurudin.
Karena itu, persepsi pemilih sepatutnya menjadi peringatan bagi para calon legislatif untuk berpikir ulang, bagaimana menggunakan dana kampanye agar tidak salah sasaran.
Dalam manipulasi hasil suara, masyarakat pemilih sangat khawatir hasil perolehan suara di Tempat Pemungutan Suara, dapat berubah di jenjang rekapitulasi berikutnya.
Potensi perubahan itu antara lain disebabkan data pemilih yang kurang akurat. Data pemilih yang tidak akurat dapat disalahgunakan untuk praktik-praktik penggelembungan suara.
Praktik seperti ini akan bisa dilakukan dengan pelibatan penyelenggara Pemilu dari KPPS hingga ke atasnya, di mana 14 persen masyarakat pemilih mengkhawatirkannya.
"Independensi penyelenggara menjadi kekhawatiran tersendiri, karena terdapat banyak bukti penyelewengan selama ini, misalnya dari fakta-fakta persidangan di MK, PTUN dan DKPP," paparnya.
Menurut Masykurudin, sudah saatnya Pemilu 2014 dijadikan ajang seleksi kepemimpinan yang bersih. Kemenangan dengan cara yang bersih akan meningkatkan kepercayaan terhadap sistem kepemiluan dan demokrasi Indonesia. (*)