Poempida Hidayatulloh: Jangan Terjebak Permainan Pihak Asing
Pemerintah sepertinya ngotot meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) diberlakukan, padahal
Editor: Widiyabuana Slay
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah sepertinya ngotot meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) diberlakukan, padahal pelaku industri rokok dan petani tembakau di daerah protes menolak aksesi FCTC. Demikian rilis yang diterima redaksi Tribunnews.com.
Bahkan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga protes penolakan FCTC. Kemenakertrans berargumen sector industry hasil tembakau melibatkan lebih dari 6 juta tenaga kerja (buruh, petani, dan industry pendukung) yang akan menganggur akibat FCTC. Sementara, Kemenperin berargumen industri hasil tembakau adalah industri legal. Dan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 28 Tahun 2008 dimasukkan dalam industri prioritas yang harus dipertahankan iklim usaha yang kondusif.
Menanggapi polemik tersebut, anggota Komisi Kesehatan dan Ketenagakerjaan, Poempida Hidayatulloh, menegaskan bahwa Pemerintah semakin tidak punya hati, dan jelas tidak pro terhadap pekerja/buruh. “Ya memang pemerintah semakin tidak punya hati, dan jelas tidak pro terhadap pekerja/buruh,” tegasnya di Gedung DPR, Rabu (13/11/2013).
Ditambahkan Poempida, data BPS mengatakan penurunan jumlah angkatan kerja sebanyak 3 juta orang dari Februari 2013 ke November 2013. Ini kan sangat mengkhawatirkan. “Industri rokok/tembakau yang jelas menyerap tenaga kerja saja kok malah mau diganggu?,” tanyanya.
Dirinya mempertanyakan untungnya meratifikasi FCTC. “Apa sih untungnya meratifikasi FCTC? Kok kita ini terkesan di "setir" oleh dunia luar? Padahal kita ini kan negara berdaulat,” cetusnya.
Poempida mengatakan, industri rokok/tembakau di Indonesia ini unik. Harus ada cara yang khusus juga dalam menanganinya. Tidak kemudian menggunakan serta merta kebijakan global. Padahal, kebijakan global itu mungkin tidak cocok untuk Indonesia.
“Jangan kita terjebak oleh permainan asing. Kita sudah pernah dirugikan dengan mengikuti IMF. Semua negara yang tidak ikut IMF malah bangkit dan selamat. Masa kebodohan harus diulangi lagi?,” terangnya.
Menurut politisi Partai Golkar ini, roadmap industri rokok/tembakau Indonesia harus ditata rapi dulu. Baru kemudian dapat mengadaptasi kebijakan FCTC. Secara logika harusnya seperti itu. Ini yang terjadi adalah mau mengadaptasi kebijakan asing, sama sekali tidak ada persiapan dalam penanggulangan dampak-dampak yang akan terjadi.
Lucunya lagi, Kementerian Kesehatan yang katanya penuh dengan orang-orang pintar sangat yakin bahwa mengadaptasi FCTC itu tidak ada dampaknya pada industri dan tenaga kerja. Kalau yakin mereka dengan opininya, berani tidak mempertaruhkan gelarnya?
“Kalau kemudian mereka salah, gelar-gelar profesornya harus dicabut. Saya yakin pasti mereka tidak mau, karena mereka tidak yakin,” tukasnya