TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menjabat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi Indonesia merupakan karier pertama mantan Kapolri Jenderal (Pol) Hoegeng Iman Santoso, di luar korpsnya sebagai seorang polisi.
Selama menjabat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi Indonesia, jabatan yang diemban Hoegeng itu terbilang awet, yakni diangkat pada 19 Januari 1961, dan Hoengeng baru mengakhiri jabatannya awal Juni 1965.
Dalam buku yang ditulis Hoegeng sendiri berjudul : Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan, Hoengeng menulis "saya ketahui di tubuh Jawatan Imigrasi diperlukan kepemimpinan yang tegas. Kantor Imigrasi saat itu tampaknya tidak dikuasai oleh orang-orang imigrasi sendiri.
Yang berkuasa justru orang-orang non imigrasi, di antaranya bagian intel TNI AD atau DPKN Kepolisian, Corps Polisi Militer, dan Kejaksaan Agung. Orang-orang Imigrasinya hanya berfungsi sebagai juru tulis dan tukang cap belaka," tulis Hoengeng.
Dan atas dasar ketegasan Hoegeng saat menjabat sebagai Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal (Ditserse dan Kriminal) Kantor Kepolisian Provinsi Sumatera Utara rupanya menjadi pertimbangan khusus pengangkatan Hoegen sebagai Kepala Jawatan Imigrasi.
Kemudian, dalam buku berjudul "Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan" yang ditulis oleh wartawan senior Kompas, Suhartono, penerbit Kompas. Semasa jabatan Hoengeng sebagai Kepala Jawatan Imigrasi saat itu cukuplah berat.
Pasalnya Hoengeng harus melancarkan prosedur dan mekanisme kerja di Jawatan Imigrasi tersebut. Ditambah lagi, Hoegeng juga mempercepat proses pengurusan exit permit, paspor dan layanan imigrasi. Selain itu juga mengembalikan kewibawaan Jawatan Imigrasi.
Suatu kali, sebagai Kepala Jawatan Imigrasi, Hoegeng dipanggil mendadak oleh presiden Soekarno ke Istana Negara. Menurut Soekarno, berdasarkan laporan dari Menteri Negara Oie Tjoe Tat, Hoegen disebut-sebut bersikap diskriminatif dan anti-China.
Mendengar itu, Hoegeng terkejut. Ia lalu menanyakan pada Presiden darimana tuduhan itu berasal. Lalu Presiden menjelaskan asal-usul tuduhan itu, Hoegeng lalu menjelaskan dirinya tidak pernah anti-China.
Menurut Hoegeng, saat itu banyak sekali imigran gelap dari Indo China yang masuk ke Indonesia sebagai pengungsi. Mereka datang dengan kapal-kapal layar dari perairan Indochina menuju Indonesia.
Padahal, Indonesia saat itu negara yang tengah mengahadapi berbagai persoalan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Akibatnya pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk menanggung kehidupan mereka di pengungsian. Memberi makan pada rakyatnya sendiri saja susah pada waktu itu, apalagi memberi makan bangsa asing, pikir Hoegeng.
Saat kapal mereka masuk ke wilayah Indonesia, Hoegeng segera menggusah (mengusirnya) kembali ke lautan lepas. Hoegeng mengantar kapal mereka sampai ke luar perbatasan Indonesia agar bisa menuju negara lain.
"Apakah itu berarti Hoegeng anti-China ? Tanya Hoegeng kepada Presiden Soekarno. Presiden akhirnya yakin dengan penjelasan Hoegeng. Ia lalu tak lagi dituduh anti-China.
Hoegeng meninggalkan Istana dengan hati lapang, dan tak membenci Oie Tjoe Tat yang salah mendapatkan informasi tentang kebijakannya sebagai Kepala Jawatan Imigrasi terhadap imigran gelap.