Memalukan Lantik Bupati Hambit Tersangka Korupsi di Penjara
Kemedagri seolah tidak peka atas tuntutan sebagian besar masyarakat untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pelantikan Bupati Gunung Mas Hambit Bintih yang sudah berstattus tersangka korupsi KPK merupakan ironi penegakan hukum yang sangat memprihatinkan dan sekaligus memalukan.
"Mungkin hanya terjadi di Indonesia, seorang tersangka korupsi dilantik menjadi kepala daerah di dalam penjara," kata Ketua Bidang Advokasi DPP Partai Gerindra, Habiburokhman, dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Jumat (27/12/2013).
Menurut dia, Kemedagri seolah tidak peka atas tuntutan sebagian besar masyarakat untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Kemendagri berdalih bahwa pelantikan tersebut harus tetap dilaksanakan karena tidak ada aturan teknis yang mengharuskan pembatalan pelantikan orang yang menjadi tersangka kasus korupsi dan terpilih sebagai Kepala Daerah," kata Habiburokhman.
Dijelaskan rencana pelantikan tersebut sangat jelas melanggar pasal 108 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang berbunyi :
"Dalam hal calon Kepala Daerah Terpilih berhalangan tetap, calon wakil kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah”
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 memang tidak disebutkan definisi “berhalangan tetap”, namun secara umum dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain , frasa “berhalangan tetap” diartikan sebagai meninggal dunia, mengalami cacat fisik dan atau mental atau tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik atau kehilangan kewarganegaraan Indonesia.
Dalam kasus ini jelas bahwa Hambit Bintih dapat dikategorikan berhalangan tetap karena dia tidak akan bisa melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai Bupati Gunung Mas , karena ia sudah berada di dalam tahanan KPK yang lokasinya juga sangat jauh dari Kabupaten Gunung Mas.
"Selain itu sikap Kemendagri tersebut dapat dikatakan salah kaprah karena sekedar mengedepankan formalitas ketimbang substansi. Inti dari pelantikan bukanlah sekedar acara seremonial formalitas pengesahan seseorang menjadi kepala daerah melainkan penanda dimulainya masa kerja kepala daerah tersebut," katanya.
Dilain pihak, Habiburokhman, mengatakan PDIP sebagai partai-nya Hambit Bintih seharusnya tidak lepas tangan begitu saja atas persoalan rencana pelantikan ini.
"Dapat diibaratkan jika dalam suatu keluarga ada anak yang nakal, maka yang terlebih dahulu punya kewajiban moral untuk menegur anak nakal tersebut adalah keluarga itu sendiri," kata Habiburokhman.
Pihaknya menyesalkan sikap seorang petinggi PDIP yang meminta untuk tidak mempersoalkan pelantikan Hambit Bintih. Sikap tersebut seolah mengabaikan kewajiban Parpol untuk memberikan pendidikan politik.
UU Partai Politik mengharuskan parpol memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, termasuk dan terutama kepada kadernya sendiri.
Sebagai bentuk pendidikan politik yang konkrit, seharusnya PDIP bisa meminta Hambit Bintih untuk menolak dilantik sebagai bentuk pertanggung-jawaban moral atas tindakannya yang telah mencoreng nama baik PDIP sebagai partai yang menentang keras korupsi.
Selanjutnya PDIP juga bisa meminta Kemendgari untuk membatalkan pelantikan Hambit Bintih. Dengan adanya permintaan tersebut kami yakin sikap Kemendagri yang tadinya ngotot akan melemah. Sebab PDIP sebagai partai pengusung saja sudah menolak pelantikan.
Kami perlu menggarisbawahi bahwa perjuangan melawan korupsi menuntut adanya sikap konsekwen dan konsisten dari kita semua. Kadang kita begitu galak melawan korupsi jika yang terlibat adalah lawan politik kita, namun kita menjadi pasif ketika yang terlibat adalah rekan satu partai.