Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pemohon Uji Materi Pilpres Merasa Dibohongi MK

Pemohon uji materi UU No 42 Tahun 2008, menilai MK telah berbohong mengenai putusan uji materi tersebut.

Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Sanusi
zoom-in Pemohon Uji Materi Pilpres Merasa Dibohongi MK
Tribunnews/HERUDIN
Akademisi, Effendi Ghazali menghadiri sidang putusan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Kamis (23/1/2014). Dalam sidang itu, MK mengabulkan permohonan Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili Effendi Ghazali bahwa Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) dilakukan serentak namun dilaksanakan pada tahun 2019 karena waktu penyelenggaraan Pemilu 2014 yang sudah sangat dekat dan terjadwal. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemohon uji materi Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Effendi Gazali, menilai Mahkamah Konsitusi (MK) telah berbohong mengenai putusan uji materi tersebut.

Effendi mengatakan, ada perbedaan tanggal rapat permusyawaratan hakim (RPH) yang disampaikan Panitera MK, Kasianur Sidauruk dengan putusan MK tertanggal 23 Januari lalu.

"Kami mengirim surat ke MK pada Mei 2013, bagaimana keputusan kami dijawab MK, tanggal 30 Mei yang dikirim oleh ketua panitera Sidauruk, isi suratnya 'berdasarkan arahan bapak ketua MK, bahwa saat ini perkara a quo dalam proses pembahasan rapat permusyawaratan hakim (RPH) dalam rapat tertutup," kata Effendy saat diskusi di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (25/1/2014).

Kejanggalan tersebut adalah Panitera menyampaikan dalam surat bahwa uji materi telah diputus oleh majelis hakim pada 30 Mei 2013. Sementara dalam putusan, RPH disebutkan selesai pada 26 Maret 2013.

"Ini masalah serius, padahal putusan MK pada halaman 88, RPH itu sudah selesai pada 26 Maret. Kalau digunakan kata bohong terlalu keras kali ya, mungkin memang ingin dibacakan terlambat, tapi tolong dicari alasan yang lebih baik," kata pakar komunikasi politik itu.

Berita Rekomendasi
Sumber: TribunJakarta
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas